Permohonan Kasasi Warga Kampung Pulo Ditolak Mahkamah Agung

Normalisasi Ciliwung dan Kampung Pulo saat ini | Foto : Kementerian PUPR

PROGRES.ID, JAKARTA – Kasasi yang diajukan oleh warga korban penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur, ditolak Mahkamah Agung (MA). MA menegaskan relokasi lahan dan pemulihan kembali jalur sungai sudah sesuai asas umum pemerintahan yang baik (AUPB).

Warga menggugat surat peringatan ketiga pada 6 Agustus 2015 tentang perintah pengosongan rumah. Sementara, MA menganggap tak ada aturan yang dilanggar oleh Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ketika merelokasi warga Kampung Pulo pada 2015 lalu. Menurut MA, proses yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta, cq Pemkot Jaktim dan Satpol PP sudah sesuai peraturan yang berlaku.

Bacaan Lainnya

Ketua Majelis Hakim yang memutus perkara itu yakni Hakim Agung Yulias dengan anggota Hakim Agung Is Sudaryono dan Irfan Fachruddin.

“Penerbitan objek sengketa sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” ujar majelis kasasi sebagaimana dilansir DetikNews, Senin (6/3/2017).

MA dalam putusannya menyatakan bahwa pengajuan objek sengketa sudah tak relevan dan pembongkaran sudah dilakukan. Diketahui, penggusuran di Kampung Pulo dilakukan pada Agustus 2015.

Bentrokan Warga Kampung Pulo dengan Petugas saat penggusuran, pada Desember 2015 silam | Foto : Rapler

“Penerbitan objek sengketa sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik,” kata majelis hakim agung dalam putusannya pada 13 Desember 2016 silam.

Pengajuan kasasi oleh 89 warga yang menolak penggusuran itu sebagai langkah hukum berikutnya setelah pada 21 Januari 2016, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan. Putusan PTUN kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi TUN Jakarta pada 1 Juni 2016.

Pemerintah Kota Jakarta Timur meminta warga di Kampung Pulo RT 015/03, Kampung Melayu, Jakarta Timur, untuk mengosongkan rumahnya karena di wilayah itu akan dijadikan daerah aliran sungai guna mengatasi banjir di Jakarta dan tak ada satu bukti warga mempunyai kepemilikan atas tanah. Warga yang menolak dipindahkan dengan alasan telah mendiami kawasan itu turun temurun sejak 1927 silam, melalukan perlawanan dengan menempuh jalur hukum.

Sementara itu, dari CNNIndonesia (6/3), Pihak Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang sempat ikut mendampingi warga dalam menolak penggusuran menyatakan kecewa dengan putusan MA tersebut. Yunita dari LBH Jakarta menilai relokasi warga di kawasan itu sebagai bentuk penggusuran paksa karena tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Kalau ada penggusuran harusnya ada prosesnya, baik sebelum mau pun setelah penggusuran. Seperti mesti ada musyawarah,” ujar Yunita

Menurut LBH Jakarta, dalam proses penggusuran tersebut setiap warga perlu mendapat kompensasi seperti ganti rugi karena sudah menempati daerah tersebut sejak berpuluh-puluh tahun. Hal tersebut sesuai dengan aturan perundang-undangan seperti UU Agraria.

Dia menuturkan warga masih bisa mengajukan Peninjauan Kembali dengan meneliti putusan hakim secara cermat apakah ada kekhilafan hakim dan adanya novum atau bukti baru. (dsy)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.