PROGRES.ID –
Ketua DPR Puan Maharani memakai baju adat Tanah Datar, Sumatera Barat, dalam Upacara HUT Kemerdekaan ke-76 RI pada 17 Agustus 2021. Pakaian adat yang dikenakan Puan dilengkapi tutup kepala yang disebut sebagai tingkuluak balenggek.
Selain model yang dikenakan Puan, Minangkabau memiliki berbagai jenis model penutup kepala, khususnya bagi perempuan. Kepala Ombudsman Sumatera Barat, Yefri Heriani, menyebut penutup kepala dalam budaya setempat melambangkan kedaulatan perempuan sekaligus sebagai hiasan kepala.
Dulu, kata Yefri, berbagai model penutup kepala masih banyak dipakai perempuan Sumatera Barat. Dalam acara resmi, penutup kepala berbentuk lebih anggun dan merah, sedang ketika mengerjakan aktivitas sehari-hari modelnya lebih sederhana. Sayang, pemandangan seperti itu kini sangat jarang ditemukan.
“Hari ini kita tidak menemukan lagi penggunaan tingkuluak di Minangkabau di kesehariannya, karena sudah lupa atau sudah menjadi sesuatu yang baru, seperti kerudung atau jilbab yang biasa,” ujar Yefri.
Yefri berbagi cerita mengenai penutup kepala perempuan di masyarakatnya, dalam pembukaan Festival Penutup Kepala Perempuan Nusantara, Rabu (18/8). Festival ini diselenggarakan Komnas Perempuan, dan merupakan bagian dari kampenye Bhinneka itu Indonesia, yang telah berlangsung hampir satu dekade.
Berbagai Makna Tutup Kepala
Tutup kepala bukan sekedar selembar kain yang dibentuk sedemikian rupa sehingga indah, dan diletakkan sebagai mahkota perempuan. Di masyarakat adat, tutup kepala memiliki beragam makna, baik itu dalam pemakaian sehari-hari maupun untuk keperluan upacara adat.
Mama Endek, perempuan Dayak Maanyan, Kalimantan tengah, bercerita perempuan di sukunya memiliki tiga model penutup kepala. Penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan yang akan dijalani perempuan bersangkutan. Ada jenis yang dipakai untuk kegiatan-kegiatan adat, seperti melayat atau menghadiri acara hajatan. Ada pula model yang dipakai untuk bekerja, seperti menanam padi atau berkebun.
Perempuan yang memakai penutup kepala, menandakan kesediaan dia untuk berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat.
“Apabila perempuan Dayak Maanyan menggunakan tutup kepala, perempuan tersebut siap bekerja melayani dan membantu aktivitas apapun dalam kehidupan masyarakat adat,” ujar Mama Endek
Nurlaini, Kepala Museum Siginjei, Jambi, memperkenalkan tengkuluk dalam festival ini. Tengkuluk adalah penutup kepala perempuan Jambi, yang juga berfungsi menyampaikan status perempuan pemakainya. Jika ujung tengkuluk ada di kiri, perempuan pemakainya berlum menikah, dan jika sudah maka ujungnya jatuh di kanan.
“Jadi, dalam satu acara, kalau orang mau melamar atau mencari jodoh, kalau jatuh sebelah kiri bisa dilamar. Kalau jatuh sebelah kanan, berarti sudah punya orang,” kata Nurlaini yang juga menulis buku Kuluk Penutup Kepala Warisan Luhur dari Jambi.
Di masyarakat adat Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, penutup kepala memiliki filosofi kehidupan. Menurut Sarbini, warga masyarakat adat Bayan, penutup kepala ini biasa disebut sebagai jong. Bahan dasarnya adalah kain tenun berbentuk segi empat, dipadukan benang warna-warni.
Jong digunakan leluhur masyarakat Bayan dalam berbagai ritual adat. Perempuan memakai jong menandakan pilihan pada pakaian kebesaran untuk acara tertentu yang sangat disakralkan.
“Apabila tidak digunakan pada waktunya, maka akan berdampak pada yang menggunakan. Seperti dia akan sakit, rezekinya akan berkurang, bahkan umurnya akan pendek,” papar Sarbini mengenai kepercayaan lokal mereka.
Bagi perempuan Simalungun, kata aktivis perempuan Anita M Hutagalung, penutup kepala yang disebut Bulang juga berfungsi sebagai penanda identitas. Pertama kali, perempuan di sana menerima Bulang dari mertuanya, sebagai tanda dia diterima di keluarga baru, dan berperan sebagai inang. Karena itulah, Bulang juga menjadi tanda bahwa perempuan pemakainya sudah menjadi istri, dan tidak ada laki-laki yang boleh mengajaknya menikah.
Bulang adalah kain tenun sepanjang sekitar 1,5 meter dengan rumbai di ujungnya. Ada dua motif berbeda di setiap ujung, yang menggambarkan simbol laki-laki dan perempuan. Ketika memakainya, ujung dengan simbol laki-laki diletakkan di belakang dan ditutup bagian kain lain. Sementara ujung dengan simbol perempuan, diposisikan tepat ada di atas kening.
“Filosofinya, perempuan Simalungun itu mengangkat harga diri atau derajat suaminya, sehingga kalau ada kekurangan itu harus disembunyikan, ditutupi,” ujar Anita.
Memaknai Kebhinekaan
Ratusan atau bahkan ribuan model penutup kepala dimiliki perempuan Indonesia sesuai suku atau kelompok masyarakat mereka. Anita menyebut semua itu sebagai bentuk keanekaragaman masyarakat Indonesia.
“Identitas itu perlu, bukan sebagai sentimen kedaerahan, tetapi identitas bagi saya sebagai bagian dari kebhinekaan,” ujarnya.
Andy Yentriyani dari Komnas Perempuan menyebut festival ini merupakan ajakan bagi semua pihak untuk lebih mengenal keragaman budaya, khususnya penutup kepala perempuan sebagai warisan leluhur. Andy menambahkan, setiap tutup kepala merupakan simbol dan atribut budaya daerah yang kaya muatan filosofis .
“Sayangnya, pengetahuan tentang ini di Indonesia, di antara kita bahkan, sangat terbatas. Komnas Perempuan mengajak kita semua untuk lebih mengenali Indonesia, melalui ragam budaya yang dimilikinya. Ragam budaya memberikan corak bagi jati diri bangsa kita, sekaligus pondasi bagi penghormatan hak asasi manusia,” ujar Andy.
Perempuan Indonesia menghadapi tantangan dalam pelestarian penutup kepala di setiap suku, karena ada kebijakan penyeragaman. Kebijakan itu diterapkan di lingkungan kerja maupun pendidikan, dan bersifat diskriminatif. Alasannya, kebijakan ini menyasar perempuan dan kelompok minoritas di daerah, mencederai kebhinekaan, membuat keropos demokrasi dan menggoncang integritas hukum nasional.
“Atas nama agama, moralitas dan kearifan lokal, banyak daerah mengatur penyeragaman dari beragam kekayaan warisan budaya Nusantara yang dimiliki,” ujar Andy.
Penyeragaman itu, dinilai Komnas Perempuan, tidak hanya berdampak pada pembatasan hak untuk berekspresi, tetapi juga hak atas jaminan beragama dan berkeyakinan. Sayangnya, menurut Andy, hingga saat ini masih banyak perempuan maupun laki-laki yang merasakan ketidakadilan akibat pembatasan itu, tetapi tidak berani bersuara. [ns/ah]