PROGRES.ID – Setiap peringatan Sumpah Pemuda pada 20 Oktober, kita selalu diingatkan dengan salah satu bunyi sumpah tersebut, yakni ‘Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia’.
Hingga saat ini, Bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan dan terdapat banyak perbendaharaan kata baru. Untuk diketahui, ejaan Bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini merupakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Sebelumnya, di Indonesia masih menggunakan Ejaan Republik atau Edjaan Republik yang populer juga disebut Edjaan Soewandi. Ejaan dalam Bahasa Indonesia ini berlaku mulai 17 Maret 1947 sebelum akhirnya ditetapkan EYD. Ejaan Soewandi menggantikan ejaan sebelumnya, yakni Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901.
Nah, tahukah Anda siapa penggagas EYD? Ia adalah guru besar Universitas Sriwijaya (Unsri) Sumatera Selatan, Amran Halim.
Amran lahir di Pasar Talo, Seluma, Provinsi Bengkulu pada 25 Agustus 1929. Ia dikenal sebagai penggagas pembakuan Bahasa Malaysia dan Bahasa Indonesia saat menjabat sebagai Ketua Majelis Bahasa Indonesia Malaysia (MBIM).
Putri pertamanya, Frieda Agnani menuturkan bahwa Amran pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Bahasa pada tahun 1970-an. Dijelaskannya juga, hasil pembakuan MBIM juga digunakan untuk Bahasa Brunei Darussalam.
Amran sangat berperan menyusun EYD setelah menjabat sebagai Ketua MBIM. Situs TokohIndonesia.com menulis bahwa Amran Halim ia juga dikenal sebagai guru besar Bahasa Indonesia. Amran merupakan Kepala Pusat Bahasa keenam yang pada awal dibentuknya pada 1 April 1975 bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Berdasarkan Keppres tahun 2000, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa berubah nama menjadi Pusat Bahasa. Lembaga ini berada dibawah naungan Sekretariat Jenderal Departemen Pendidikan Nasional saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
EYD ditetapkan setelah berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No.67 Tahun 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu Sjarif Thajeb membentuk Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia. Amran Halim pun didapuk sebagai ketua.
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia yang dipimpin Amran Halim ini kemudian menyusun buku “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” dengan tebal hanya 55 halaman. Buku ini dicetak pertama kali pada tahun 1978 oleh penerbit Balai Pustaka. Buku berwarna putih dengan warna biru muda tempat meletakkan judulnya sudah beberapa kali mengalami cetak ulang.
Amran Halim yang hingga akhir hayatnya masih aktif di sejumlah organisasi di Sumsel, seperti menjabat Ketua Dewan Pertimbangan Pendidikan Daerah Sumsel, Dewan Kesenian Sumsel, dan kegiatan kepramukaan, semasa muda pernah bergabung dalam tentara pelajar. Atas perjuangannya tersebut pemerintah menganuegerahinya bintang gerilya. Ia pun berhak untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ksatria Siguntang, Palembang.
Anak tertua Amran, Priada menerangkan, ayahnya pernah mengatakan tidak ingin mau dimakamkan di taman makam pahlawan. “Almarhum ingin tetap di makamkan di taman pemakaman umum Puncak Sekuning dekat makam ibu,” ujar Prida.
Amran Halim meninggal dunia di RS RK Charitas, Palembang, Sumatera Selatan, karena kanker paru. Sempat dirawat di RS RK Charitas selama 17 hari. Amran Halim meninggalkan seorang istri, Nuryanti Syafniar Amran (65), dan dua anak kandung, Frieda Agnani Amran (50) serta Davron Donny Amran (46), serta lima anak angkat, yaitu Anova Luska (42), Ribodesiana (41), Medika Azwar (37), Variantono (34), dan Agung Hakimolast (31). Hingga akhir hayat memiliki 11 cucu dari seluruh anak kandung dan anak angkatnya.
Sumber: TokohIndonesia.com