PROGRES.ID – Seorang perempuan muda asal Indonesia yang ditangkap di Filipina selatan ketika sedang mempersiapkan diri untuk melakukan misi bom bunuh diri. Ia mengklaim kedua orang tuanya yang sudah wafat pernah memaksanya untuk bergabung dengan ISIS. Demikian diungkapkan komandan pasukan militer wilayah setempat mengatakan kepada BenarNews.
Rezky Fantasya Rullie (alias Cici dan Nini Isarani) – yang diperkirakan masih berusia remaja atau di awal 20-an – telah diberikan izin untuk bertemu dengan Konsul Jenderal Indonesia Dicky Fabrian pada hari Rabu, ujar Letjen Corleto Vinluan, komandan pasukan Komando Mindanao Barat (Western Mindanao Command) yang juga hadir dalam pertemuan tersebut.
“Pertemuannya tertutup, di area tertutup dimana Cici ditahan,” ujar Vinluan pada hari Jumat. “Tersangka menjabarkan secara detil bagaimana dia dipaksa bergabung dengan kelompok militan itu.”
Orangtua Ruli membunuh diri mereka sendiri dalam serangan bom kembar di sebuah gereja di Pulau Jolo di selatan Filipina dua tahun yang lalu. Pejabat-pejabat setempat mengatakan bahwa Rullie sendiri diduga telah dipersiapkan oleh mereka untuk menjadi pelaku bom bunuh diri.
Oktober lalu, pasukan Filipina menangkap Rullie dengan dua warga Filipina yang diduga sedang mempersiapkan serangan bunuh diri dan telah menikah dengan anggota-anggota Kelompok Abu Sayyaf, grup militan pro-ISIS yang berbasis di selatan Filipina.
Vinluan mengatakan Fabrian ingin bertemu Rullie untuk memastikan “bahwa dia adalah benar seorang warga negara Indonesia” dengan menemuinya secara langsung. Pertemuannya terjadi di rumah detensi Grup Investigasi Kriminal dan Deteksi di selatan kota Zamboanga, di mana Cici ditahan.
“Cici menceritakan, bagaimana awalnya dia tidak menyadarinya, dan lalu dipaksa menikah dengan salah satu pelaku bom bunuh diri,” ujar Vinluan kepada BenarNews, merujuk pada Andi Baso, seorang warga negara Indonesia yang sedang dilatih menjadi pelaku bom bunuh diri yang dipercayai telah dibunuh oleh pasukan Filipina pada Agustus 2020. Namun, jasadnya tidak pernah ditemukan.
Vinluan mengatakan diplomat Indonesia tersebut didampingi oleh pejabat polisi dan militer Indonesia, namun mereka tidak diizinkan untuk berbicara kepada Cici.
Percakapan antara Fabrian dan Rullie juga mencakup kehidupan pribadinya – “bagaimana dia datang ke sini, dan berapa kali dia telah ke wilayah pegunungan,” ujar Vinluan.
Orangtuanya – Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh – bunuh diri dalam dua serangan bom di gereja Our Lady of Mount Carmel di kota Jolo saat misa hari Minggu pada Januari 2019, yang membunuh 23 orang.
Vinluan mengatakan militan muda tersebut dibawa ke Jolo oleh kedua orangtuanya, dan bahwa dua adik kandungnya, laki-laki berusia 10 tahun dan perempuan berusia 12 tahun, tetap berada di wilayah pegunungan di Pulau Jolo. Pihak militer sebelumnya mengatakan bahwa Rullie berusia remaja atau di awal 20-an.
Rullie dan Baso dipercayai berada di bawah naungan Mundi Sawadjaan, seorang pembuat bom yang menjadi dalang serangan bom lain di dekat gereja yang sama dan mengakibatkan 15 korban meninggal dunia pada Agustus lalu, ujar pejabat-pejabat setempat.
Mundi adalah keponakan dari Hatib Hajan Sawadjaan, komandan ISIS di Filipina dan seorang pemimpin senior Abu Sayyaf. Sawadjaan senior dikatakan telah terbunuh dalam bentrokan di Jolo, tetapi jasadnya belum ditemukan dan militer juga belum mengkonfirmasi laporan tersebut.
Menurut Vinluan, konsul jenderal Indonesia mengatakan kepadanya bahwa Jakarta telah berkomitmen untuk mengerahkan lebih banyak aset untuk menjaga perbatasan bersama antara negara-negara tetangga yang mudah diterobos dalam perang melawan terorisme.
Filipina dan negara-negara tetangga Indonesia dan Malaysia telah melakukan patroli bersama untuk mengamankan perbatasan laut mereka dari militan dan pembajakan, berdasarkan sebuah perjanjian kerja sama trilateral.
Perintah menangkap kembali polisi yang dibebaskan
Sementara itu, pengadilan wilayah Jolo telah mengeluarkan perintah untuk menangkap kembali sembilan petugas polisi atas dugaan keterlibatan mereka dalam pembunuhan empat spesialis intelijen Angkatan Darat yang sedang dalam misi memburu tersangka militan ISIS di pulau itu tahun lalu.
Para petugas polisi tersebut, yang diberhentikan dari tugasnya pada 1 Januari, dibebaskan dari tahanan dengan alasan teknis pada hari Selasa karena pihak berwenang tidak dapat lagi menahan mereka setelah pengadilan setempat gagal mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk mereka.
“Kami mendesak petugas polisi yang bermasalah untuk menyerah – jika tidak AFP, PNP dan lembaga pemerintah lainnya akan dengan seksama mencari, menemukan, dan menyerahkan mereka ke pengadilan sesegera mungkin untuk menghadapi persidangan atas beberapa pembunuhan,” ujar juru bicara militer Mayjen Edgard Arevalo dalam pernyataannya, mengacu pada Angkatan Bersenjata Filipina dan Kepolisian Nasional Filipina.
Pada akhir Juni, keempat tentara yang terbunuh itu sedang melakukan perjalanan dengan sebuah kendaraan, yang sudah ditandai oleh polisi Jolo. Berdasarkan penyelidikan awal, para tentara tersebut dengan jelas sudah mengidentifikasi diri mereka tetapi diduga para polisi tersebut tetap menembak mati mereka.
Serangan di Lanao del Norte
Di lokasi lain di selatan Filipina yang bergejolak, pasukan militer sedang mencari “pelaku tak dikenal” yang membunuh seorang warga sipil dan tiga tentara Angkatan Darat dalam serangan di provinsi Lanao del Norte, ujar Komando Mindanao Barat pada hari Jumat dalam siaran pers yang diunggah di Facebook.
“Kami masih memastikan situasinya dan dan kami tidak memiliki informasi lain hingga saat ini,” ujar Brigjen. Jenderal Facundo Palafox, komandan Brigade Infanteri Mekanik ke-2, dalam sebuah pernyataan.
“Korban keempat adalah seorang warga sipil dan belum teridentifikasi, sementara nama-nama tentara yang terbunuh masih dirahasiakan, sambil menunggu pemberitahuan kepada keluarga mereka,” ujarnya.
Jeoffrey Maitem dan Mark Navales, dan Froilan Gallardo dan Richel V. Umel, berkontribusi pada berita ini dari Kota Cotabato dan Cagayan de Oro, Filipina.