Pagi subuh, menuju masjid Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Terhitung keempat kali masuk pulau seribu selama 15 (lima Belas) di DKI Jakarta ini. Perubahan tentu ada. Pada tahun 2009 dan 2010 reklamasi belum ada. Wisatawan banyak berkunjung. Pasca 2012-2013 reklamasi merambah wilayah tersebut. Laut pun terasa tak indah seperti dulu. Banyak hal yang dilihat dan amati. Terutama reklamasi yang dilakukan taipan-taipan dan oligarki rakus.
Atas refleksi itu, saya mencoba ingat keadaan dengan membaca Lirik lagu Ibu Pertiwi. Lagu nasional kebanggaan hati. Tentu lagu itu mengingat nasionalisme pejuang – pejuang kemerdekaan kembalikan tanah – tanah yang kuasai para bedebah penjajah.
Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matanya berlinang
Mas intannya terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang lara
Merintih dan berdoa
Tak habis pikir dengan bangsa ini. Hadiah Tuhan sebuah kemerdekaan hanya tertoreh dalam lidah “kata merdeka.” Ujung lidah dalam ucapan hanya bersilat. Tapi belum mengenang dalam sanubarinya betapa susahnya bangsa ini bangkit untuk mencapai esensi kemerdekaan.
Tanah yang dikuasai asing dari 350 tahun lalu. Tak kembali begitu saja. Rakyat harus berjuang kembali. Reforma agraria (Land Reform) sebatas ucapan janji reformasi. Setiba rezim mafia membawa angin segar untuk mengesahkan tanah – tanah rakyat. Sertifikat pun membelah seluruh piranti harta, keluarga dan komunikasi dalam lingkungan masyarakat.
Bayangkan saja, janji Land Reform itu membawa malapetaka bagi keluarga saya sendiri sebagai contoh. Kedua orangtua terampas harta kesayangan: warisan. Dirampas haknya oleh keponakan sendiri yang mensertifikat sebagian tanah pekarangan rumah kedua orangtua di Tarano, Sumbawa sana. Proses sertifikat berkomplotan antara mafia tanah, pemerintah, dan kepala desa serta aparat kepolisian yang mem-backup mafia tanah.
Begitu merintih kedua orangtua hingga sekarang. Anak-anaknya seperti kami diminta menghadap pengadilan untuk menggugat. Padahal bukan kami yang merampas hak orang lain. Lalu kami yang diperhadapkan ke pengadilan. Sungguh rezim mafia sertifikat ini sangat zalim kepada rakyatnya. Mungkin saja terjadi pada orang lain. Kasus seperti ini sangat banyak.
Begitu pun, rintihan keluh kesah nelayan seluruh Indonesia, bahkan se-nusantara menyoroti atas kebijakan PP 26 tahun 2023 tentang tata kelola sedimentasi yang membungkus ekspor pasir laut. Hutannya terjual, dikuasai sebagian oligarki dan asing sekitar 30% tanah Indonesia. Lautan tak luput dari penghisapan dan pengerukan.