Jika Paksakan Puan Jadi Capres, PDI-P Diprediksi Tak bakal Punya Presiden dari Partainya

Ganjar pranowo megawati
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo sedang melakukan mengunjungi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarno Putri di Jakarta. (Foto: Video-screenshot/Ganjar Pranowo)

**Batas Iklan**

PROGRES.ID – Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Maret 2021-Agustus 2022 terkait Pemilihan Presiden 2024, menunjukkan pergerakan tidak signifikan pada elektabilitas Puan Maharani sebagai calon dari PDI Perjuangan. Suara Puan dinilai kurang kompetitif dengan hanya meraih angka 1 persen, dari angka sebelumnya 0,5 persen.

Bacaan Lainnya

Hasil survei tersebut juga menyebutkan bahwa elektabilitas Prabowo Subianto hanya mencapai 16,7 persen atau turun dari sebelumnya 20 persen. Namun, suara perolehan Anies Baswedan naik dari 11,2 persen menjadi 14,4 persen, demikian pula Ganjar Pranowo yang bergerak naik signifikan dari 8,8 persen di awal survei menjadi 25 persen.

Pendiri SMRC, Saiful Mujani, mengatakan bila kondisi suara Puan Maharani tetap sama sampai pencalonan pada Oktober 2023, maka bisa diprediksi PDI Perjuangan tidak akan memiliki presiden lagi dari partainya bila tetap memaksakan mengusung Puan sebagai calon.

“Kalau 0,5 persen menjadi 1 persen, itu artinya tidak pergi ke mana-mana. Kalau dilihat dari ini, saya tidak tahu bagaimana caranya, apa alasannya harus mendukung atau mencalonkan Ibu Puan kalau targetnya harus menang. Jelas dong, targetnya harus menang. Kalau kondisinya seperti ini, ya berat dong,” kata Saiful.

Presiden RI ke-IV yang juga Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri bersama putrinya Puan Maharani melambaikan tangan kepada wartawan (Foto: Reuters via VOA Indonesia)

Survei SMRC sebelumnya juga menempatkan PDI Perjuangan di posisi teratas dalam perolehan suara Pemilu 2024, dan diprediksi kembali menjadi partai pemenang pemilu. Bila nama Ganjar masuk menggantikan nama Puan Maharani dalam simulasi tiga nama di survei SMRC, maka elektabilitas Ganjar Pranowo cenderung naik dari 25,5 persen pada Mei 2021 menjadi 32 persen pada Agustus 2022. Sedangkan Prabowo Subianto dari 34,1 persen turun menjadi 30,8 persen, dan Anies Baswedan juga turun dari 23,5 persen menjadi 21,9 persen.

Saiful Mujani menuturkan, tren positif popularitas dan keterpilihan Ganjar Pranowo harus dilihat PDI Perjuangan sebagai pilihan yang paling realistis bila ingin memenangkan Pemilu sekaligus memiliki presiden dari kader partainya. Selama ini, katanya, nama Ganjar kurang banyak disebut di kalangan elit PDI Perjuangan dibandingkan nama Puan Maharani.

“Kalau mencalonkan Ganjar ada harapan. PDI Perjuangan menginginkan agar kembali punya presiden seperti Pak Jokowi sekarang, harapan itu terbuka kalau membuka opsi terhadap Ganjar. Tapi, kalau kita ingin nomor satu, Mbak Puan agak susah diharapkan,” katanya.

Pengajar Jurusan Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Kris Nugroho, melihat hasil survei prediksi hasil Pilpres tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Popularitas dan potensi keterpilihan Ganjar Pranowo yang cukup tinggi menurut survei, kata Kris Nugroho, harus dilihat oleh PDI Perjuangan dalam mempertimbangkan dan menetapkan calon presiden yang akan diusungnya pada 2024.

“Mengikuti survei, itu saya pikir menjadi alternatif yang pas bagi PDI Perjuangan. Kalau kita sodorkan nama, barangkali kalau dari kader PDI Perjuangan, orang partai sendiri, ya Ganjar. Kalau kita bicara soal popularitas, survei, sehingga dengan demikian ada akomodasi dari posisi publik yang suaranya akan diakomodasi, kemudian juga dikaitkan dengan efek popularitas Ganjar yang sudah tinggi itu, pasti akan menguntungkan PDI Perjuangan,” ujarnya.

Dalam menentukan calon yang akan diusungnya, Kris mengatakan, PDI Perjuangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan kecermatan, hingga konstelasi politik nasional sudah dapat dipastikan.

Kris mengatakan, dalam politik di Indonesia keputusan politik pencalonan presiden seringkali dipengaruhi oleh pertimbangan para elit partai, dibandingkan suara publik. Tokoh yang muncul sebagai calon, sering tidak berangkat dari figur dan program yang kuat, tetapi pada figur yang popular tanpa program terbaik.

“Politik itu bukan sekedar nama terbaik, dan calon terbaik dengan program terbaik. Kenyataannya di Indonesia, program tidak terlalu penting. Justru penting itu suasana kefiguran,” katanya.

“Jadi, ketokohan itu menjadi penting, Jadi, kalau misalnya ada figur yang cukup kuat, walaupun programnya tidak jelas atau programnya tidak terlalu menarik masyarakat, tapi karena kefigurannya kuat, bisa jadi dia akan menjadi tokoh yang menonjol,” tambah Kris.[pr/ah]

Pos terkait