2 Perusahaan Obat Terkait Kasus Gagal Ginjal Dicurigai Gunakan Bahan Industri untuk Berhemat

kepala bpom
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito memberikan statemen di depan awak media terkait hasil investigasi BPOM mengenai material pada obat sirop yang diduga menyebabkan penyakit gagal ginjal akut pada anak, di kantor BPOM di Jakarta, 23 Oktober 2022. (Eko Siswono Toyudho/BenarNews]

**Batas Iklan**

JAKARTA, PROGRES.ID – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada Jumat (28/10/2022) mengatakan bahwa dua perusahaan farmasi yang sedang diperiksa karena memproduksi obat sirop yang dikaitkan dengan kasus gagal ginjal akut pada anak-anak dicurigai telah menggunakan bahan kimia untuk industri alih-alih mengunakan zat yang aman, untuk menghemat biaya.

Pengujian menunjukkan bahwa sirop yang dibuat oleh kedua perusahaan mengandung etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) tingkat tinggi, menimbulkan kecurigaan bahwa senyawa tersebut sengaja digunakan dalam proses produksi untuk menekan biaya selama pandemi, kata kepala BPOM Penny Lukito.

Bacaan Lainnya

“Mungkin karena pandemi, harga mahal, hingga akhirnya mereka berubah ke supplier yang bukan pharmaceutical grade, tapi ke industrial grade,” kata Penny dalam sebuah diskusi di Jakarta, tanpa menyebut nama perusahaan yang dicurigai.

“Jadi sama saja dengan menggunakan bahan misalnya pelarut cat, tapi ini digunakan di obat,” tambahnya.

Penny menggambarkan tingginya kadar EG dan DEG dalam produk tersebut sebagai “bukan lagi cemaran”, namun sudah menjadi “bagian komposisi” produk tersebut.

“Pas kami tes juga ternyata kandungan EG dan DEG sangat tinggi. Artinya ada kemungkinan memang bahan bakunya sudah membawa EG dan DEG. Berarti ada permasalahan di bahan baku,” ujar Penny.

“Untuk itulah kami tidak lanjutkan dengan sanksi administrasi, tapi dilanjutkan dengan melihat apakah ada unsur kesengajaan,” lanjut dia.

Penny tidak menyebut apakah kedua perusahaan itu termasuk dalam tiga pabrik obat yang produknya sudah dilarang dan ditarik dari peredaran.

Dalam keterangan BPOM sebelumnya, ada lima obat sirop dari tiga produsen yang ditarik dari peredaran karena mengandung cemaran EG dan DEG dalam kadar yang tinggi.

Mereka adalah PT Konimex dengan produk Termorex sirop, kemudian PT Yarindi Farmata produsen Flurin DMP sirop serta PT Universal Pharmaceutical Industries yang memproduksi Unibebi Cough sirop, Unibebi Demam sirop dan Unibebi Demam Drops.

Sesuai acuan Farmakope Indonesia yang memuat informasi tentang material pada obat, ambang batas aman cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari. Namun pengujian mendapati kelima obat tersebut menggunakan EG yang melebihi ambang batas aman.

Selanjutnya, kata Penny, akan dilakukan uji kausalitas atau sebab akibat pada 269 lebih pasien gagal ginjal tersebut untuk menilai hubungan antara kejadian gagal ginjal akut dan produk obat. Kementerian Kesehatan mencatat setidaknya 157 orang meninggal akibat gagal ginjal sejak pasien pertama ditemukan pada Januari, walaupun lonjakan penderita tercatat mulai Agustus.

Periksa unsur pidana

Polisi sudah menyegel dua perusahaan farmasi yang disebut oleh BPOM memproduksi obat sirop dengan cemaran ED dan DEG melebihi ambang batas itu, ujar Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipidter) Bareskrim Polri Brigjen Pipit Rismanto kepada wartawan di Mabes Polri.

Selain itu, polisi juga sedang mendalami perusahaan lain dengan dugaan sama.

“Memang saat ini yang sudah melakukan penyegelan. Tapi kita juga akan melakukan pendalaman, membantu BPOM,” ujar dia.

Pipit tidak merinci nama-nama perusahaan yang telah disegel dan perusahan lain yang sedang dibidik dalam perkara ini. Nama-nama perusahaan itu menurut dia akan diumumkan oleh BPOM.

Polisi juga akan menelusuri bahan baku yang digunakan perusahaan-perusahaan farmasi, sehingga bisa ketahui darimanakah cemaran EG dan DEG berasal, apakah dari proses produksi atau dari bahan bakunya.

“Kita butuh kerjasama semua pihak untuk mendapatkan sampel urin, darah yang akan diuji laboratorium di Puslabfor Polri untuk mengecek toxicology-nya,” ujar Pipit.

BPOM, kata Penny, juga melarang sementara penggunaan empat bahan pelarut yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin atau gliserol meski zat-zat itu banyak digunakan di industri farmasi dan makanan karena diduga menghasilkan cemaran EG dan DEG dalam obat sirop.

“Kita hentikan dulu penggunaan empat pelarut itu sampai kajian kita sudah mendapat kesimpulan,” ujar dia.

Penny menyadari pelarangan penggunaan empat bahan itu akan membawa efek buruk pada industri farmasi, namun hal ini menunjukkan ketatnya jaminan keamanan dan mutu obat yang mendapatkan izin edar dari BPOM.

“Kalau BPOM terlalu ketat nanti disebut tidak friendly pada pelaku usaha. Tapi ketika ada kejadian (kesalahan) langsung dilimpahkan ke BPOM,” ujar dia.

BPOM menyatakan ada sebanyak 69 obat sirop yang menggunakan empat jenis bahan pelarut yang kini dilarang. Namun BPOM masih memerlukan tes untuk memastikan ada atau tidaknya cemaran EG dan DEG pada produk tersebut.

Sejauh ini dari 69 obat tersebut, sudah ditemukan 23 di antaranya yang teruji aman.

“Kalaupun mengandung cemaran EG dan DEG masih ada batasan tolerable limit. Jika masih pada ambang batas tersebut berarti masih aman,” ujar Penny dalam konferensi pers, Kamis (27/10).

Menurut Penny, standar Farmakope Indonesia menyebutkan bahwa toleransi EG dan DEG dalam bahan baku produk farmasi hanya 0,1%.

Penurunan kualitas bahan baku

Dugaan penurunan kualitas bahan baku sebagai penyebab tingginya cemaran ED dan DEG juga diungkapkan oleh para pakar.

Profesor Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ekawati mengatakan EG dan DEG kemungkinan telah dicampurkan langsung sebagai bahan baku obat sehingga terdeteksi dalam kadar yang cukup tinggi.

“Kalau cemaran tidak akan sebesar itu. Tapi kalau ada indikasi diganti dan ditambahkan (EG dan DEG), itu bisa jadi,” ujar Zullies kepada BenarNews.

Teuku Nanda Saifullah Sulaiman, juga ahli farmasi dari UGM mengungkapkan perusahaan farmasi biasanya tidak akan berani menambah zat-zat tersebut, jika cemaran di atas ambang batas, dapat dicurigai hal itu berasal dari kualitas bahan baku.

“Itu bisa jadi karena kualitas bahan bakunya menurun, karena bahan baku industri farmasi Indonesia semua dari luar. Rata-rata dari China dan India. Jadi sangat mungkin sumber bahan baku beda,” ucap dia.

Heny Ekowati, ahli imunologi dan farmakologi Universitas Jenderal Soedirman di Purwokerto, mengatakan Indonesia harus melakukan penelitian untuk memastikan bahwa penyebab kejadian gagal ginjal akut pada anak adalah EG dan DEG.

Dia menyontohkan kejadian gagal ginjal akut di Panama pada 2006 juga diikuti dengan penelitian yang menemukan kontaminasi DEG yang tinggi pada obat batuk. Penelitian tersebut membuat pemerintah menarik kembali sekitar 60.000 botol sirop obat batuk yang terkontaminasi.

“Pada kasus di Panama, gliserin dari China-lah yang menyebabkan kasus ini. Kasus di Gambia, adalah produk dari India,” ujar dia.

Menurut Heny, bisa jadi kualitas bahan baku pembuat gliserin rendah, sehingga mengandung impuritas tinggi melebihi kadar aman dikonsumsi manusia.

Pos terkait