Diperlukan tindakan cepat terhadap WNI di kamp-kamp pengungsi ISIS

Diperlukan tindakan cepat terhadap WNI di kamp-kamp pengungsi ISIS — BeritaBenar

**Batas Iklan**

PROGRES.ID – Awal bulan ini, Amerika Serikat membekukan aset lima warga negara Indonesia atas dugaan peran mereka dalam memfasilitasi kegiatan ekstremis di Suriah dan di wilayah-wilayah lain di mana kelompok ekstremis Negara Islam (ISIS) beroperasi.

Mereka adalah, Rudi Heryadi dan Ari Kardian – yang masing-masing diadili di Indonesia pada tahun 2020 dan 2019, dan tiga lainnya – Muhammad Adhiguna, Dini Ramadhani, dan Dwi Susanti – yang saat ini tinggal di kamp pengungsi al-Hol di Suriah.

Bacaan Lainnya

Mereka, menurut Departemen Keuangan Amerika, pada tahun 2021 bersama-sama memfasilitasi pengiriman uang yang digunakan untuk menyelundupkan remaja-remaja ke perekrut ISIS; pada tahun 2019 mereka memberikan informasi ke orang-orang  tentang bagaimana cara pergi ke wilayah ISIS seperti Afghanistan; dan pada tahun 2017 mereka mengirimkan dana  hampir US$4,000 kepada seorang pimpinan ISIS.

Hasil penemuan Washington, dengan signifikan, telah memperlihatkan kemampuan orang Indonesia di luar negeri dalam terus melakukan ancaman terorisme – ancaman yang telah ditargetkan dan dapat menyasar Indonesia sendiri.

WNI di kamp-kamp pengungsi ISIS

Dari tahun 2013 sampai 2017, lebih dari 2.150 orang Indonesia pergi ke Suriah dan Irak untuk bergabung dengan ISIS, demikian laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bulan Januari 2022.

Dari jumlah tersebut, lebih dari 555 dideportasi sebelum mereka memasuki Suriah, 194 pulang dengan sukarela, dan 127 dipastikan tewas. BNPT mengkategorikan sisanya kurang lebih 1.250  orang Indonesia “masih ada di zona konflik” – istilah umum untuk mengklasifikasikan mereka yang tinggal di kamp-kamp pengungsi ISIS, orang-orang yang ditahan di penjara Kurdi, mereka yang masih buron di Suriah dan Irak, dan lainnya yang dianggap hilang.

Warga negara Indonesia hanya merupakan sebagian kecil dari populasi di al-Hol dan al-Roj.  Data terbaru dari UNICEF menunjukkan bahwa ada lebih dari 62.600 orang di kedua kamp tersebut.

Jumlah orang asal Indonesia kurang dari 0,01 persen.  Jumlah itu bisa berbeda, tergantung pada sumbernya. Menurut data BNPT tahun 2021 tercatat sekitar 115 orang Indonesia yang tinggal di kedua kamp tersebut – 47 persen perempuan dan 44 persen anak-anak.

Di tahun 2020, Mohammad Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan menyatakan bahwa mereka telah memverifikasi lebih dari 228 orang yang tinggal di kamp-kamp tersebut.

Kondisi kehidupan para pengungsi ini dari awal sudah sangat buruk, dan semakin memburuk dari waktu ke waktu.  Sejak tahun 2019, kamp-kamp ini memiliki sanitasi yang tidak layak, kurangnya akses ke air bersih dan tidak cukupnya makanan, serta berjangkitnya berbagai penyakit seperti campak dan diare.

Dengan adanya Pasukan Pertahanan Suriah (Syrian Defense Force atau SDF), yang mengawasi kamp-kamp ini, yang kini memiliki anggota semakin banyak, maka aktivitas ISIS pun meningkat.

Media melaporkan bahwa anggota ISIS menyelundupkan anak-anak yang direkrut, menganiaya mereka yang ingin pulang, dan juga memicu terjadinya kerusuhan. Dengan negara-negara terkait tetap mengabaikan kondisi kamp, situasi akan semakin memburuk.

Pemulangan

Pada awal tahun 2020 pemerintah Indonesia memperdebatkan pemulangan warganya dari kamp-kamp pengungsi ISIS ini, tetapi pada akhirnya memutuskan untuk tidak melakukannya, karena kekhawatiran para mantan anggota ISIS yang dipulangkan akan menyebarkan “virus teroris” dalam masyarakat.

Pada bulan Februari 2020, menggemakan pendapat Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Menteri Mahfud MD menyatakan bahwa pemerintah percaya bahwa “kepentingan ratusan juta warga Indonesia di Tanah Air melebihi [mereka para] … ‘pejuang teroris asing’ di Suriah dan Turki.” Namun demikian pengecualian akan dibuat untuk anak-anak di bawah 10 tahun yang pemulangannya akan dipertimbangkan kasus per kasus.

Sejak itu, pemerintah Indonesia mulai membentuk Satuan Tugas terkait Pejuang Teroris Asing (Satgas FTF).  Ini adalah lembaga antar kementrian yang dipimpin oleh BNPT yang berperan untuk mendokumentasikan dan menyinkronkan data FTF Indonesia (termasuk yang masih ada di kamp al-Hol dan al-Roj), menilai ancaman dan jaringan mereka, dan memberikan rekomendasi terkait dengan pemulangan mereka.  Namun proses ini berjalan relatif lambat.

Dalam laporan dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) tercatat pada saat itu hanya 18 orang – lima di antaranya adalah anak-anak – yang dipulangkan dari Suriah dan Irak dengan bantuan resmi pemerintah. Pemulangan ini dilakukan pada tahun 2017.

Proses pemulangan mantan teroris merupakan proses yang lambat.

Seseorang harus terlebih dahulu diidentifikasi sebagai wargaIndonesia, tugas yang sulit karena KTP mereka biasanya telah dibakar oleh FTF ketika mereka tiba di Suriah.  Selain itu, untuk mengetahui berapa besar ancaman dari masing-masing individu itu adalah hal yang sulit karena alat penilaian risiko yang tersedia yang biasa digunakan untuk para narapidana teroris perlu disesuaikan kembali untuk mengakomodasi anak-anak.

Dengan mengasumsikan bahwa penilaian itu efektif, ada juga kesulitan lain terkait kompleksitas dalam mengembangkan program reintegrasi berkelanjutan bagi para pengungsi ISIS ini, 1perihal yang tidak disebutkan oleh pemerintah dalam Rencana Aksi Nasional terkait Ekstremisme.

Risiko dari tidak bertindak

Sementara kehati-hatian adalah hal penting dalam proses repatriasi, Indonesia juga perlu mengingat bahwa waktu juga merupakan hal utama.  Seperti yang diperlihatkan dalam penangkapan baru-baru ini, orang Indonesia yang ditahan di al-Hol memanfaatkan jaringan militan negara mereka.

Dwi Susanti, misalnya, saat berada di luar negeri pada tahun 2021, berhasil mengkoordinasikan pengiriman uang dari orang-orang Indonesia ke individu di kamp-kamp pengungsi Suriah. Pada saat tersebut, ia juga berhasil berhubungan dengan Muhammad Adhiguna dan memfasilitasi pendaftarannya untuk masuk ISIS.

Hal yang penting, ini bukan pertama kalinya orang Indonesia di luar negeri menjadi ancaman bagi negara asal mereka. Di awal tahun 2015, Bahrun Naim, orang Indonesia di Suriah, mengajarkan para pendukung ISIS di Solo, bagaimana membuat bom dan membantu merencanakan serangan terhadap polisi dan komunitas-komunitas agama lain, demikian menurut IPAC.

Juga masih di tahun 2015, seorang WNI lainnya di Suriah, Bahrumsyah, mentransfer lebih dari Rp.1 miliar (U.S. $ 73,000) kepada Hendro Fernando yang lalu meneruskannya ke Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan the Ansar Khilafa Philippines (yang juga dikenal sebagai Ansar al-Khilafah Philippines atau Ansarul Khilafa Philippines).

Pada tahun 2019, seorang Indonesia di Suriah, Daniel, mengajari anggota  Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS di Bekasi, Jawa Barat, cara membuat bom, keterampilan yang kemudian dibagikan oleh anggota JAD tersebut kepada anggota lain di JAD Papua.

Memang, tidak semua orang memiliki keterampilan atau jaringan yang sama dengan Susanti, Naim, Bahrumsyah, atau Daniel, atau menimbulkan ancaman yang serupa. Tetapi tanpa dokumentasi dan penilaian yang komprehensif terhadap orang Indonesia di kamp-kamp pengungsi ISIS, bersamaan dengan pemulangan anak-anak secara cepat, Indonesia akan sulit untuk memilah antara siapa yang menimbulkan ancaman dan siapa yang tidak, serta bagaimana menangani mereka dengan benar.

Tugas ini akan menjadi semakin sulit karena sumber daya SDF untuk menjalankan kamp al-Hol dan al-Roj berkurang sementara pengaruh ISIS di dalamnya terus meningkat.  Sementara orang-orang Indonesia di kamp-kamp pengungsi ISIS mungkin jauh dari kita, mereka seharusnya tidak  kita lupakan.

Alif Satria adalah peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia. Penelitiannya berfokus pada terorisme dan kekerasan politik di Asia Tenggara.

Pos terkait