Islam Nusantara Bisa Berkontribusi pada Perdamaian Dunia

Islam Nusantara Bisa Berkontribusi pada Perdamain Dunia — BeritaBenar

**Batas Iklan**

Tradisi toleransi yang dijalankan umat Islam di Nusantara di masa lalu dan reformasi atas ajaran ortodoks agama yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman bisa menjadi solusi bagi penyelesaian konflik di dunia, kata Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) baru, Yahya Cholil Staquf.

NU ingin turut serta membangun tatanan dunia yang adil dan harmonis berdasarkan penghargaan terhadap hak dan martabat manusia, dimulai dari Indonesia dengan memecahkan masalah fundamentalisme dan radikalisme agama, kata Yahya.

Bacaan Lainnya

“Kita akan terus melanjutkan upaya untuk mengukuhkan peradaban Islam yang sudah tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak lama dan sudah terbukti hingga sekarang mampu mempertahankan tatanan sosial budaya yang harmonis, walaupun di dalamnya terdapat keanekaragaman,” kata Yahya dalam wawancara melalui telepon dengan BenarNews, merujuk pada Islam Nusantara.

“Ini adalah model yang tentu akan sangat berharga untuk ditawarkan kepada dunia sebagai kontribusi Islam Indonesia, untuk upayakan jalan keluar dari berbagai macam kemelut yang sekarang berkecamuk di dunia Islam,” ujarnya.

Tidak setuju dengan pelabelan “kafir”

Yahya juga mengatakan doktrin-doktrin dari masa lalu yang masih dipercaya sebagai ajaran Islam yang bisa menimbulkan intoleransi, diskriminasi dan persekusi terhadap non-Muslim, harus direformasi, termasuk pelabelan “kafir” bagi mereka yang beragama bukan Islam, dan kekhilafahan.

“Itu jelas dan diakui bahwa dalam wacana Islam klasik itu bertebaran pandangan yang semacam itu. Dan memang prakteknya yang ada memang juga demikian, panjang sejarahnya. Ini suatu kerawanan yang kita tidak bisa lakukan lagi hari ini karena dunia ini sudah menjadi satu kampung bersama dan kita harus hidup berdampingan satu sama lain,” paparnya.

Kalau dulu kan ada format khilafah dan itu memang menjadi wacana yang dominan dalam ortodoksi, dan menjadi praktek yang membentuk konstruksi peradaban masa lalu. Nah sekarang kita tidak bisa lagi memaksakan suatu khilafah universal di tengah konteks realitas modern ini,” ujar Yahya.

Dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU tahun 2019, ada usulan untuk mengganti istilah kafir bagi non-Muslim di Indonesia menjadi “muwathinun” atau warga negara, karena kata “kafir” berkonotasi negatif dan menciptakan jarak antarumat beragama.

Peserta Munas juga menilai penyebutan istilah kafir dapat menyakiti warga non-Muslim di Indonesia karena dianggap mengandung unsur “kekerasan teologis.”

Usulan itu, namun ditentang oleh kelompok Islam konservatif yang mengatakan bahwa istilah kafir merupakan istilah netral dan tidak berkonotasi negatif.

Yahya mengatakan Muslim tidak boleh menggunakan syariat Islam sebagai alasan untuk melawan hukum negara karena itu akan menimbulkan kekacauan dan merusak tatanan sosial.

“Ketika terjadi konflik antara umat Islam dan non-Muslim apa kewajiban umat Islam? Nah, dalam ortodoksi, yang ada adalah seruan untuk membantu sesama Islam untuk melawan non-Muslim,” ujar Yahya.

“Hal ini yang harus diluruskan, kita tidak bisa begitu saja melibatkan diri dalam konflik antara Islam dan non-Muslim karena itu akan memperbesar fitnah, memperbesar konflik dan tidak membawa jalan keluar,” tambahnya.

Menurut Yahya, apa yang disebut Islam Nusantara bukanlah ideologi baru, tapi merupakan realitas peradaban Islam yang unik di Indonesia.

Islam Nusantara, ujarnya, “akan memberikan inspirasi menuju jalan keluar dari segala kemelut internasional yang sedang kita alami.”

Yahya mengatakan NU telah menjajaki kerjasama dengan kelompok Evangelis yang konservatif dan Yahudi di Amerika Serikat dan negara lain untuk bersama mencari solusi bagi perdamaian dunia melalui dialog.

“Arahnya adalah bagaimana kita semua para pemeluk agama ini bisa mencapai konsensus bagaimana agama kita ini harus berfungsi di dalam konteks Abad 21,” ujarnya.

Yahya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-34 NU di Lampung akhir tahun kemarin.

Yahya sempat menjabat sebagai juru bicara kepresidenan ketika Abdurrahman “Gus Dur” Wahid, mantan ketua umum NU, menjabat presiden. Di era pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Yahya juga ditunjuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf dalam acara konsolidasi bersama pengurus wilayah dan pengurus cabang NU pada 24 Desember 2021. [Dokumentasi PBNU] 

Konsolidasi

Dalam kepemimpinannya lima tahun ke depan, Yahya mengatakan dia akan mengkonsolidasi organisasi NU.

Pada Senin, Yahya membuat terobosan dengan memasukkan sejumlah tokoh perempuan untuk menjadi pengurus PBNU periode 2022 -2027.

Yahya menyebut ini adalah pertama kalinya ada pengurus pusat PBNU perempuan sejak organisasi itu didirikan tahun 1926.

Sejumlah tokoh perempuan yang masuk kepengurusan PBNU masih terkait dengan tokoh-tokoh terkemuka NU, seperti Nafisah Sahal Mahfudh, Sinta Nuriyah (istri dari Gus Dur), Khofifah Indar Parawansa, dan putri Gus Dur Alissa Qotrunnada.

Tak hanya tokoh perempuan, ada sejumlah politisi yang masuk jajaran pengurus PBNU antara lain, Nusron Wahid dari Partai Golkar, yang menjabat Wakil Ketua Umum, Mardani Maming dari PDI Perjuangan yang menjadi bendahara umum, dan Saefullah Yusuf yang dekat dengan PKB.

Pemikiran moderat

Direktur eksekutif Indonesian Muslim Crisis Centre, Robi Sugara, menilai gagasan yang dikemukakan Yahya bagus dan penting bagi perkembangan umat di Indonesia karena NU tidak lagi mempersoalkan hubungan agama dan negara.

“Jadi NKRI sudah melebur di dalam agama dan agama sudah melebur dalam negara. NU tidak akan tertarik mendirikan negara Islam, khilafah atau formalisasi syariat Islam yang didengungkan oleh kelompok radikal dan itu tidak akan berubah,” kata Robi kepada BenarNews.

Diharapkan, di bawah kepemimpinan Yahya, akan ada perubahan yang lebih baik karena dia membawa pemikiran yang jauh lebih moderat, kata Robi.

Menurutnya, saat ini adalah saat yang tepat untuk mempromosikan Islam Nusantara saat banyaknya pengikut puritanisme agama yang menganggap selain dari apa yang mereka percaya, ajaran lainnya adalah sesat.

“Kelompok Islam puritan menganggap kemusyrikan sesuatu yang tidak boleh dan ketika mereka melihat mereka tidak boleh tinggal diam. Namun Islam Nusantara meskipun tidak membolehkan, tapi mencoba melihat dari sudut pandang berbeda,” ujarnya.

Sementara itu, pakar politik Islam dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, tantangan bagi NU adalah menjadi kekuatan masyarakat sipil yang mendorong penguatan pilar demokrasi.

“Kita ini masih terjebak dalam politik identitas yang mengedepankan pada kelompok maupun aliran dalam politik dan keagamaaan sehingga menumbuhkan politiknya justru tidak dibentuk. Ini saya kira menjadi fenomena yang mengawali fundamentalisme, peran agama yang terlalu dalam dan negatif,” kata Yon.


Pos terkait