Pelaut Indonesia yang Ditahan Houthi di Yaman dalam Kondisi Baik

Pelaut Indonesia yang Ditahan Houthi di Yaman dalam Kondisi Baik — BeritaBenar

**Batas Iklan**

Seorang pelaut Indonesia yang bekerja di perusahaan Uni Emirat Arab (UEA) yang kapalnya dibajak milisi Houthi di Yaman pada awal bulan ini dilaporkan dalam kondisi baik dalam tahanan kelompok itu, kata pejabat Kementerian Luar Negeri Indonesia, Selasa (11/1).

Bacaan Lainnya

Kelompok Houthi yang melakukan perompakan kapal berbendera UAE pada 2 Januari itu juga belum membuat tuntutan kepada perusahaan pemilik kapal, ujar Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia di Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Judha Nugraha.

Menurut Judha, pelaut Indonesia tersebut kini telah ditempatkan di sebuah hotel oleh para milisi setelah sempat ditahan di kapal. Secara total, kapal bernama Rwabee tersebut mengangkut sebelas anggota kru, termasuk masing-masing seorang dari Ethiopia, Myanmar, Filipina, dan tujuh warga India

“Hasil komunikasi dengan KBRI di Oman –turut merangkap Yaman, UEA, Arab Saudi, dan perwakilan negara yang juga ditahan, ABK (anak buah kapal) kita dalam kondisi sehat dan aman,” ujar Judha kepada BenarNews.

“Kami juga sudah menjalani komunikasi dengan ABK tersebut dan ia diperlakukan dengan baik.”

UAE adalah anggota koalisi pimpinan Saudi Arabia yang melakukan intervensi militer di Yaman sejak 2015 setelah Presiden Abdrabbuh Mansur Hadi digulingkan oleh gerakan Houthi.

Judha menambahkan, warga Indonesia yang ditahan milisi berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan, namun dia menolak mengungkap identitas pelaut itu dengan alasan keamanan lantaran pemerintah masih mengupayakan pembebasan.

BeritaSatu melaporkan dari Makassar bahwa pelaut itu bernama Surya Hidayat Pratama. 

Pemerintah UEA pada Minggu mengecam aksi pembajakan dan mendesak milisi Houthi untuk melepaskan kapal Rwabee beserta awaknya yang dicegat milisi di perairan tak jauh dari Hodeibah, kota terbesar keempat di Yaman dengan pelabuhan penting di dekat Laut Merah.

Wakil Tetap UEA di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Lana Nusseibeh mengatakan pembajakan tersebut telah menimbulkan kekhawatiran pada kapal-kapal yang hendak berlayar di Laut Merah, kantor berita AFP melaporkan. 

Kapal tersebut disewa perusahaan sipil asal Arab Saudi untuk membawa peralatan medis bagi pembangunan rumah sakit lapangan di Pulau Socotra dan melewati perairan internasional, kata Nusseibeh.

“Aksi pembajakan ini bertentangan dengan ketentuan dasar hukum internasional. Ini juga merupakan ancaman serius bagi kebebasan dan keselamatan pelayaran dan stabilitas kawasan,” ujarnya seperti dikutip AFP.

Sehari sebelumnya, milisi Houthi dalam siaran langsung menyatakan bahwa kapal tersebut membawa kendaraan lapis baja, bus pengangkut prajurit, dan peralatan militer lain.

Sementara itu istri Surya Hidayat yang bernama Sri Rahayu berharap pemerintah dalam memulangkan suaminya ke tanah air. 

“Semoga Presiden Joko Widodo dapat membantu pembebasan suami saya,” kata Sri seperti dikutip IDN Times.

Sri mengatakan, ia terakhir kali menjalin kontak dengan Surya pada 2 Januari. Kala itu, Surya mengirim pesan singkat berisi ucapan salam.

Setelah itu, mereka tak lagi berkomunikasi hingga pada 4 Januari Sri menyaksikan kabar pembajakan kapal tempat suaminya bekerja via televisi. 

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengatakan perompakan yang disertai penawanan awak kapal kemungkinan bermotif ekonomi. 

“Tapi saya menduga, motif Houthi masih sama, murni kebutuhan dana karena Iran yang selama ini mendukung mereka mulai kesulitan ekonomi akibat beragam sanksi,” ujar Halim kepada BenarNews.

Terkait langkah yang harus ditempuh pemerintah, Halim meminta otoritas untuk mengintensifkan diplomasi terutama kepada perusahaan pemilik kapal. 

“Karena semua ABK yang bekerja di kapal, sepenuhnya tanggung jawab perusahaan,” ujarnya lagi.

Juru bicara Serikat Pelaut Sulawesi Selatan, Marcellus Hakeng Jayawibawa, dikutip dari Tribunnews, meminta pemerintah serius memulangkan Surya ke Indonesia.

“Saya mendesak otoritas mengintensifkan jalur diplomasi yang dibutuhkan agar bisa menyelamatkan warga Indonesia yang disandera,” katanya.

Houthi merupakan gerakan politik Islam bersenjata yang muncul dari Sa’dah di utara Yaman pada 1990-an, dipimpin oleh Husain Badruddin al-Houthi. 

Mereka muncul sebagai oposisi terhadap mantan Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh yang dituduh telah melakukan korupsi besar-besaran dan didukung Amerika Serikat dan Arab Saudi.

Al-Houthi terbunuh dalam operasi militer Yaman pada 2004, yang lantas memicu pemberontakan. 

Seiring waktu, gerakan ini didukung oleh pengikut Syiah Zaidi yang kerap menggaungkan isu politik agama. Mereka juga berhasil mengambil alih ibu kota Sana’a pada 2014 dan setahun setelahnya telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah utara Yaman.

Pada tahun 2015, koalisi pimpinan Arab Saudi menyerang kamp milisi Houthi di Sana’a dan memicu perang saudara di Yaman.

PBB memperkirakan sedikitnya 300 ribu orang tewas akibat perang saudara ini hingga akhir 2021 sehingga melabelinya sebagai salah satu bencana kemanusiaan terburuk di dunia. 


Pos terkait