Pengakuan Napi Terorisme Berujung pada Temuan Bahan Peladak

Pengakuan Napi Terorisme Berujung pada Temuan Bahan Peladak — BeritaBenar

**Batas Iklan**

Informasi dari seorang narapidana terorisme yang telah bertobat menyebabkan ditemukannya 35 kg bahan peledak awal bulan ini yang disembunyikan di kaki gunung di Jawa Barat Indonesia, demikian polisi, Rabu (13/10).

Penemuan bahan peledak triaseton triperoksida (TATP), yang oleh kelompok militan kerap disebut Ibunya Setan karena daya ledaknya yang tingggi, merupakan hasil informasi dari narapidana Imam Mulyana, kata Kepala Bagian Bantuan Operasi Densus 88, Kombes Aswin Siregar.

Bacaan Lainnya

Imam adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), jaringan militan yang terafiliasi dengan kelompok ISIS, yang ditangkap pada 2017 di Cirebon.

“Imam membuat pengakuan yang mencengangkan, dia bersama komplotannya masih menyimpan bahan baku TATP sebanyak 35 kilogram,” ujar Aswin kepada BenarNews.

“Karena hasil dari deradikalisasi kami, Imam Mulyana akhirnya mengatakan kepada kami pada 1 Oktober untuk mengamankan benda berbahaya tersebut,” katanya.

Tim Densus 88, ujar Aswin, selama ini memang tidak hanya melakukan penangkapan, tapi juga melakukan upaya-upaya pendampingan dengan melakukan deradikalisasi dan reintegrasi terhadap para narapidana terorisme.

Aswin mengatakan bahwa Imam, 31, “telah sadar sepenuhnya bahwa aksi teror yang mereka rencanakan adalah kejahatan kemanusiaan dan sebuah pengkhianatan bagi keluhuran agama yang dipeluknya.”

Ia menjelaskan dalam masa penahanannya di Lapas Gunung Sindur, Densus 88 melalui tim Identifikasi dan Sosialisasi (IDENSOS) melakukan upaya pembinaan berkelanjutan terhadap Imam.

Imam ditangkap pada 18 September 2017 di Cirebon, Jawa Barat, karena dicurigai melakukan plot serangan terhadap Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang berkunjung ke sana untuk menghadiri acara penutupan kegiatan Festival Keraton Nusantara (FKN).

Dari tangan Imam, Densus 88 mengamankan satu buah koper yang berisi sangkur, airsoft gun, buku ajakan berjihad, dan beberapa benda mencurigakan lainnya.

“Dari hasil penyelidikan awal pada saat itu, Imam diketahui berniat untuk merampas senjata anggota polisi yang mengamankan kedatangan presiden, sekaligus melukainya,” lanjut Aswin.

Daya ledak tinggi

Setelah pengakuan Imam, Densus 88 Polri bersama dengan tim penjinak bom Brimob Polda Jabar melakukan pencarian ke Gunung Ciremai selama berhari-hari.

Tim menemukan sebuah toples berisi 10 kg TATP murni, botol plastik ukuran 250 ml berisi gotri, empat Tupperware berisi TATP murni dan C1 dan setengah botol air minum besar berisi TATP yang sudah berubah warna, kata Aswin.

Tim penjinak kemudian melakukan tindakan pemusnahan terhadap bahan peledak tersebut di sekitar lokasi penemuan.

Terbukti TATP sebanyak 50 gram yang dimusnahkan di atas tanah, menimbulkan lubang dengan diameter sekitar 1 meter dengan kedalaman 20 cm,” kata Aswin.

“Pemusnahan lainnya dalam jumlah beragam bahkan menimbulkan getaran hebat, lubang di permukaan tanah, pecahan batu dan tanah longsor,” kata dia.

Sementara sebagian sisa TATP saat ini diamankan utk barang bukti sekitar tiga per empat botol air mineral ukuran 1.5 liter dan disimpan oleh tim penjinak bom untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.

Pakar Terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Stanislaus Riyanta memuji Densus yang berhasil melakukan pendekatan kepada Imam.

“Ini sebagai bukti mereka punya rencana aksi yang besar. Temuan ini harus dikembangkan untuk mencari kemungkinan ada simpanan bahan peledak yang lain,” ujar Stanislaus kepada BenarNews.

 

Polisi mengawal tersangka salah satu pimpinan jaringan Jemaah Islamiyah, Zulkarnaen (tengah), yang juga dikenal sebagai Aris Sumarsono, setibanya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, 16 Desember 2020. [AP]
 

 

Sidang Zulkarnaen

Sementara itu, Pengadilan Negeri Jakarta Timur menggelar sidang lanjutan tokoh militan terlarang Jamaah Islamiyah (JI) Aris Sumarsono, yang lebih dikenal sebagai Zulkarnaen, pada Rabu dengan menghadirkan saksi-saksi.

Saksi yang dihadirkan pada sidang yang berlangsung virtual itu adalah lima terpidana kasus bom Bali yakni Sarjio, Ali Imron, Mubarok alias Utomo Pamungkas, Umar Patek, dan Suranto Abdul Goni.

Seorang saksi lain adalah Upik Lawanga, anggota senior JI yang diduga terlibat dalam aksi penyerangan di Poso.

Zulkarnaen, 58, yang buron selama sekitar 18 tahun sejak 2002, didakwa melakukan pemufakatan jahat saat menyembunyikan Upik Lawanga yang berstatus buronan polisi dan sengaja menjadi anggota serta merekrut orang lain untuk bergabung dengan JI.

JI, menurut pihak berwenang, berada di balik serangkaian serangan teroris pada tahun 2000an, termasuk bom Bali pertama dan kedua, pembomam Kedutaan Australia di Jakarta dan ledakan di hotel Marriott dan Ritz Carlton.

Dakwaan terhadap Zulkarnaen tidak terkait dengan bom Bali yang menewaskan lebih dari 200 orang pada 2002.

Kendati begitu dalam persidangan, ketua majelis hakim Sutikna sempat beberapa kali menanyakan perihal keterlibatan Zulkarnaen dalam bom Bali.

Para saksi mengakui Zulkarnaen saat itu merupakan panglima militer dan berperan dalam pembentukan serta perekrutan anggota tim khusus JI yang berisi sekelompok orang yang dipersiapkan menjadi pelaku teror.

Namun para saksi, dalam keterangannya, mengaku tidak sekali pun bertemu atau mendapat instruksi dari Zulkarnaen sebelum bom diledakkan.

“Terkait dengan bom Bali, (Zulkarnaen) enggak ada kaitan, tapi jauh sebelum bom Bali, ia adalah pimpinan kami,” kata Sarjio, yang dihukum seumur hidup. Sarjio berperan sebagai peracik bom di rumah kontrakannya di Jalan Pulau Menjangan, Denpasar.

Hal sama disampaikan terpidana seumur hidup, Suranto, yang mengaku tidak diberi instruksi apapun oleh Zulkarnaen terkait bom Bali.

“Saya mengenalnya sejak latihan militer di Pakistan. Rata-rata anggota lain pun mengenal terdakwa sejak di Pakistan dan Afganistan,” ungkap Suranto.

Ali Imron, yang juga divonis penjara seumur hidup, mengatakan bahwa Zulkarnaen hanya mengajarkan agama atau pelatihan militer selama memimpin tim khusus.

“Tidak ada menyinggung bom Bali,” ujar Ali yang merupakan adik pelaku bom Bali lain, Amrozi yang sudah dieksekusi mati.

Zulkarnaen ditangkap Densus 88 pada 10 Desember 2020 di Lampung Timur.

Peneliti Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Muhammad Adhe Bhakti, mengatakan bahwa anggota kelompok teror kerap bergerak secara rahasia, bahkan menyembunyikan dari tokoh lainnya.

“Dalam sudut pandang keamanan kelompok teror, hal begini memang wajar untuk menjaga kerahasiaan,” ujar Adhe kepada BenarNews.

“Sehingga sangat mungkin para saksi bom Bali yang tersisa saat ini tidak mengetahui siapa saja yang berperan dalam teror tersebut, termasuk peran Zulkarnaen.”

Menurut dakwaan, Zulkarnaen juga berperan dalam perumusan Pedoman Perjuangan Jamaah Islamiyah (PUPJI).

Sepanjang pelarian, Zulkarnaen selalu ditampung anggota JI dan diberi uang saku lantaran dianggap aset penting organisasi dan memiliki keahlian militer dan penggunaan senjata, kata dakwaan jaksa.

Regenerasi JI

Direktur Identifikasi dan Sosialisasi Densus 88 Komisaris Besar MD Shodiq mengatakan meski program deradikalisasi terus dijalankan, kewaspadaan akan regenerasi dari kelompok militan, khususnya JI, tetap perlu ditingkatkan.

“Kita tidak tahu apakah ke depan JI mentransformasikan diri mereka menjadi organisasi yang terbuka,” katanya dalam sebuah diskusi daring Selasa.

Sejumlah studi yang dilakukan akademisi dan pakar keamanan menyebutkan JI sebagai organisasi teror yang dilihat sebagai ancaman meski saat ini tidak aktif melakukan penyerangan.

Menurut Shodiq, sejak bom Bali 2002 hingga saat ini, Densus 88 telah menangkap 876 anggota JI.

Kendati demikian, jumlah anggota dan simpatisan diprediksi hampir sepuluh kali lipat dari itu dengan 67 institusi pendidikan terafiliasi JI yang diduga menjadi lokasi untuk melakukan regenerasi.

Selain itu, JI juga memiliki sejumlah yayasan yang diduga menjadi sumber pendanaan mereka.

“Kami telah mengajukan yayasan-yayasan yang sudah terbukti menjadi sumber pendanaan dimasukkan ke dalam kategori organisais yang terlarang,” kata Shodiq.

Akademisi Rajaratnam School of International Studies dan peneliti terorisme, Noor Huda Ismail, mengatakan untuk meminimalisir gerak JI, pemerintah perlu melakukan pelucutan senjata yang dimiliki kelompok ini.

“Polisi harus mencari senjata mereka di mana saja, memang ini tidak mudah,” kata Noor Huda, dalam diskusi sama.

“Mereka memiliki ketidakpercayaan pada negara yang dianggap tidak bisa menyelesaikan banyak masalah, mereka juga melihat ada kelompok radikal lain seperti separatisme, sehingga mereka menganggap umat Islam juga harus bersiap,” ujarnya.

Noor Huda mengatakan JI juga harus dilihat bukan hanya sebagai kelompok teror. “JI hari ini, banyak terlibat dalam praktik-praktik politik, mencoba menjadi solusi dari permasalahan yang negara tidak bisa selesaikan,” katanya.

“Artinya, regenerasi akan berjalan terus dan masalah tidak akan berhenti dengan hanya penangkapan saja,” kata Noor Huda.

Ronna Nirmala di Jakarta berkontribusi pada artikel ini.

Pos terkait