Jokowi Apresiasi Belanda yang Akhirnya Akui Indonesia Merdeka Tahun 1945

melukis kemerdekaan
Warga melukis mural di sebuah dinding di Jakarta, pada 2 Agustus 2022, sebagai persiapan peringatan 77 tahun kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.(Bay Ismoyo/AFP)

**Batas Iklan**

JAKARTA, PROGRES.ID – Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada Kamis (15/6/2023) menanggapi positif pengakuan Belanda secara resmi untuk pertama kalinya terkait kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Pengakuan kemerdekaan disampaikan sehari sebelumnya oleh Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte di sela-sela debat di parlemen Belanda yang menyinggung kapan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.

Bacaan Lainnya

“Kami sepenuhnya sudah mengakui 17 Agustus zonder voorbehaud (tanpa keraguan),” kata Rutte dikutip dari salah satu organisasi penyiaran di Belanda, Nederlandse Omroep Stichting (NOS).

Pemerintah Belanda sebelumnya bersikeras bahwa Indonesia memperoleh kedaulatan pada 27 Desember 1949, ketika Den Haag secara resmi menyerahkan kekuasaan setelah melakukan sejumlah perang dalam kurun waktu empat tahun pasca Jakarta memproklamasikan kemerdekaannya.

“Ya, bagus. Tapi nanti kita lihat. Saya (butuh) masukan dulu dari Menteri Luar Negeri karena impact-nya ke mana-mana,” kata Presiden Jokowi dalam keterangan kepada wartawan di Jakarta.

Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan telah mendengar pengakuan kemerdekaan oleh Rutte tersebut, namun belum memastikan langkah diplomatik yang bakal dilakukan.

“Kami mengikuti adanya debat di Parlemen Belanda dan pernyataan PM (Perdana Menteri) Rutte, tapi belum ada yang dapat kami sampaikan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah kepada BenarNews.

“Kami masih menunggu masukan dari KBRI di Den Haag,” ucapnya.

Meski mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pernyataan Rutte tersebut tidak akan memiliki dampak hukum, terutama perihal penyelesaian dugaan kejahatan perang yang dilakukan militer Belanda dalam kurun 1945-1950.

“Kami tidak setuju itu kejahatan perang secara yuridis. Secara moral, ya, tapi tidak secara yuridis,” kata Rutte dalam pernyataan lainnya pada debat di parlemen Belanda itu, menurut NOS.

“Saya masih akan mencari jalan keluar bersama Presiden (Indonesia) untuk mencari jalan terbaik agar bisa diterima kedua pihak,” papar Rute.

Pernyataan Rutte atas pengakuan kemerdekaan itu muncul saat parlemen Belanda memperdebatkan laporan penelitian bertajuk Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950 yang tidak melabeli rangkaian kekerasan periode tersebut sebagai “kejahatan perang”, melainkan sebatas “kekerasan ekstrem”.

Penelitian yang dirilis pada Februari 2022 tersebut merupakan kolaborasi sejumlah lembaga riset Belanda seperti Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Netherland Institute of Military History, dan Netherlands Institute for War Documentation Center for Holocaust and Genocide Studies.

Disayangkan

Ketiadaan pengakuan “kejahatan perang” tersebut disayangkan pengajar sejarah Universitas Sanata Dharma, Chandra Halim, dengan mengatakan, “Ada catatan penting (bahwa) pernyataan itu bukan dinyatakan kejahatan perang. Hanya kekerasan.”

Periode 1945-1950 memang masih menjadi perdebatan yang belum tuntas antara kedua negara sampai saat ini.

Pasalnya setelah Sukarno mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, militer Belanda beberapa kali melancarkan operasi bersenjata ke sejumlah wilayah dengan tujuan menguasai kembali Indonesia.

Riset gabungan itu juga menyatakan bahwa setidaknya 100 ribu masyarakat Indonesia tewas dalam kurun 1945-1949. Sementara korban dari militer Belanda dilaporkan tak lebih dari 5.500 orang.

Konflik bersenjata itu baru tuntas setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 1949 yang memuat pemindahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia.

Pada tahun 2005, Menteri Luar Negeri Belanda saat itu, Bernard Bot, mengakui proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, meskipun secara de facto.

Pada 2013, pemerintah Belanda untuk pertama kalinya menyampaikan permintaan maaf secara umum atas pembunuhan massal yang dilakukan pasukannya di Indonesia.

Den Haag pada saat itu juga menawarkan kompensasi kepada beberapa korban perang dan kerabat mereka, serta mendukung dialog antara kedua negara.

Tidak berhenti hanya pada mengakui

Meski baru sebatas pengakuan kemerdekaan, tak disertai pengakuan kejahatan perang, pengajar Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengapresiasi pernyataan Rutte.

“Pengakuan itu kejutan karena Belanda sebelumnya hanya mengakui kemerdekaan pada 1949 dan diberikan oleh Belanda,” kata Rezasyah kepada BenarNews.

Namun ia berharap Pemerintah Indonesia tidak berhenti pada pengakuan kemerdekaan lantaran serbuan militer Belanda sepanjang 1945-1949 telah menimbulkan banyak korban jiwa di Indonesia, seperti aksi Raymond Pierre Paul Westerling di Sulawesi yang menewaskan ribuan orang.

“Itu kan pelanggaran hak asasi manusia berat. Ini (pengakuan kemerdekaan) memberikan potensi baru bahwa Belanda telah melakukan agresi militer,” ujar Rezasyah.

Berdasarkan laporan arsip kejahatan Belanda berjudul Excessennota pada 1969, setidaknya terdapat 76 kasus kekerasan atau kejahatan perang yang dilakukan Belanda di Indonesia pasca 1945.

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Dave Laksono, meminta Presiden Jokowi tidak berhenti sebatas pengakuan kemerdekaan oleh Belanda.

“Harus pendalaman lagi. Apa yang bisa kita tuntut dari Belanda?” kata politikus Partai Golongan Karya tersebut dalam keterangan tertulis.

Dalam lawatannya ke Indonesia pada 2020 Raja Belanda Willem-Alexander juga sempat menyampaikan maaf atas banyaknya korban yang jatuh dari pihak Indonesia akibat kekerasan yang dilakukan Belanda pasca kemerdekaan Indonesia.

“Sejalan dengan pernyataan yang pernah disampaikan Pemerintah sebelumnya, saya ingin mengungkapkan penyesalan dan meminta maaf atas kekerasan yang berlebihan dari pihak Belanda pada tahun-tahun itu (setelah Proklamasi 17 Agustus 1945),” kata Willem-Alexander dalam pidato di hadapan Presiden Jokowi di Istana Bogor saat itu.

Ada pula pidato Rutte di Den Haag pada Desember 2022 yang meminta maaf atas keterlibatan Belanda dalam perbudakan selama 250 tahun terhadap koloni-koloni di luar Eropa –termasuk Indonesia.

 

Pos terkait