Tes Keperawanan Masih Digunakan dalam Rekrut Prajurit Perempuan

Tes Keperawanan Masih Digunakan dalam Rekrut Prajurit Perempuan — BeritaBenar
Korps Wanita Angkatan Darat berbaris dalam parade peringatan HUT TNI ke-74 di Jakarta, 5 Oktober 2019. (Foto: Benarnes.org via AP)

PROGRES.ID – Kebijakan yang mensyaratkan perempuan untuk menjalani tes keperawanan untuk menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia tidak berubah, kata seorang juru bicara TNI Jumat (6/8), meski Kepala Staf Angkatan Darat bulan lalu mengindikasikan bahwa praktik itu harus dihentikan.

Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Andika Perkasa mengatakan kepada Panglima Komando Daerah Militer seluruh Indonesia  dalam sebuah video pada 18 Juli 2021 yang diunggah di YouTube Angkatan Darat bahwa perempuan yang ingin bergabung dengan Korps Wanita Angkatan Darat harus diuji berdasarkan tujuan rekrutmen untuk kemampuan mereka dalam mengikuti pelatihan dasar militer dan materi pengujiannya tidak boleh dibedakan dari rekan mereka yang laki-laki.

Bacaan Lainnya

Komentar tersebut minggu ini disambut baik oleh banyak pihak, terutama aktivis hak asasi manusia, termasuk dari Human Rights Watch (HRW), yang pertama kali menyoroti praktik “diskriminatif dan invasif” itu pada tahun 2014.

Namun demikian ketika ditanya apakah pengujian yang disebut sebagai tes keperawanan masih diperlukan untuk rekrutmen baru, juru bicara TNI Kolonel Djawara Whimbo mengatakan hal yang berbeda.

“Sampai sekarang, aturan itu (soal materi tes) belum berubah,” kata Whimbo kepada BenarNews.

“Tes kesehatan menyeluruh terhadap calon anggota TNI wanita memang termasuk pemeriksaan selaput dara,” ujar Kepala Penerangan Internasional TNI tersebut, “perempuan itu kan beda dengan lelaki.”

Para calon istri perwira militer juga harus menjalani tes serupa, ujarnya.

Namun demikian, Whimbo mengatakan mereka yang gagal tes selaput dara tidak akan otomatis didiskualifikasi.

Tes keperawanan merupakan istilah yang kerap digunakan dalam salah satu rangkaian tes kesehatan calon prajurit perempuan, berupa praktik invasif memasukkan dua jari ke dalam vagina untuk menentukan apakah seseorang itu pernah berhubungan seksual.

World Health Organization (WHO) dalam sejumlah kesempatan telah menyatakan bahwa tes keperawanan untuk calon prajurit tidak memiliki manfaat ilmiah atau dasar medis.

Tidak utuhnya selaput dara bukanlah indikasi pasti bahwa telah terjadi hubungan seksual, dan tidak ada pemeriksaan yang diketahui yang bisa membuktikan tentang riwayat hubungan seksual seseorang melalui vagina, kata WHO.

Terkait hal itu, Whimbo tak sepaham.

“WHO ngga ada hubungan sama kita. Budaya ketimuran kita masih kuat,” ujarnya mengacu pada sikap moral yang memandang negatif terhadap hubungan seksual sebelum menikah.

Tidak relevan

Kasad Jenderal Andika dalam briefing pertengahan Juli lalu tersebut mengatakan bahwa tes yang tidak relevan dengan tujuan rekrutmen tidak boleh lagi dilakukan.

“Pemerikasaan kesehatan terhadap calon prajurit Korps Wanita Angkatan Darat harus sama dengan pemeriksaan kesehatan terhadap pemeriksaan prajurit TNI AD. Hal-hal yang tidak relevan dengan tujuan rekrutmen tidak lagi dilakukan,” papar Andika saat itu.

Ia juga mengatakan, calon istri perwira TNI AD tidak perlu lagi menjalani tes serupa.

“Mereka sudah dewasa, dan manakala mereka sudah memutuskan untuk menikah, ya kita yakin prajurit kita sudah cukup dewasa untuk memutuskan apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan,” ujarnya.

HRW yang berbasis di New York pertama kali menerbitkan laporan tentang keberadaan tes keperawanan di institusi kepolisian Indonesia pada tahun 2014 dan kemudian di militer pada tahun berikutnya.

Polri telah menghentikan tes tersebut lewat telegram dari Badrodin Haiti, Kapolri saat itu, namun TNI masih memberlakukannya.

Peneliti HRW Andreas Harsono, saat dihubungi, menyambut baik perintah Andika untuk menghapus praktik semacam itu di TNI AD, yang disebutnya sebagai “kasar, tidak ilmiah dan diskriminatif.”

“Itu bagus dan harusnya sudah dilakukan lima dasawarsa yang lalu,” ujarnya.

Andreas mengaku tidak mengetahui persis sejak kapan praktik itu dilakukan lembaga keamanan Indonesia, namun dia mengatakan perempuan tertua yang pernah diwawancara HRW mengalaminya pada 1965.

Ia menghimbau Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk melakukan langkah serupa.

“Kalau mau jadi organisasi yang beradab harus dihentikan itu,” tegasnya.

Dalam laporannya pada tahun 2015, HRW mengutip seorang dokter militer di Jakarta yang mengatakan bahwa tes tersebut merupakan bagian dari pemeriksaan fisik wajib dan diberikan pada awal proses rekrutmen.

Dokter tersebut, yang meminta namanya dirahasiakan mengatakan tes itu dilakukan di rumah sakit militer di seluruh penjuru Tanah Air dimana calon prajurit perempuan diperiksa di aula besar yang disekat dengan tirai menjadi kamar-kamar.

Sekitar 15 persen dari sekitar 800.000 anggota TNI adalah perempuan.

Diatur resmi

Ketua Komnas Perempuan Andy Yetriyani menanggapi positif pernyataan Jenderal Andika, namun ia berharap pencabutan tes keperawanan bagi calon prajurit dan calon istri anggota TNI dapat dituangkan ke dalam beleid tertulis demi menghindari pertentangan pendapat antarmatra militer.

“Kami mengapresiasi pernyataan Kasad Andika, tapi hal seperti itu sebaiknya dituangkan dalam dokumen tertulis untuk menunjukkan keseriusan AD dan TNI keseluruhan,” kata Andy kepada Benarnews.

Serupa dengan Andy, Andreas pun berharap pencabutan tes keperawanan dapat dituangkan dalam aturan resmi. Hal itu diperlukan agar praktik serupa tidak berulang di masa mendatang.

Ia mencontohkan dinamika di tubuh Polri yang sempat menghentikan tes keperawanan pada 2006-2007, tapi kembali memberlakukannya sekitar tiga tahun kemudian.

“Karena tidak dilembagakan, tes kembali dilakukan pada 2010. Hingga akhirnya dihentikan pada 2014 oleh Kapolri Badrodin Haiti,” kata Andreas.

Traumatis

Lebih lanjut, Andreas mengatakan tes keperawanan meninggalkan trauma mendalam bagi mereka yang mengalaminya.

Dalam rangkaian wawancara HRW terhadap sekitar 20 perempuan pada 2014-2015, misalnya, semua menangis saat menuturkan ulang pengalaman masing-masing.

“Mereka takut membicarakannya karena menyisakan pengalaman traumatis,” kata Andreas.

Pun, pernyataan Andy yang mengatakan bahwa mereka yang dites merasa malu dan trauma, tapi terpaksa menerimanya.

“Mayoritas yang kami tanya merasa trauma dan menjawab bahwa pengalaman itu tidak menyenangkan,” pungkas Andy.

Pos terkait