Gaya HidupViral

Mengenal Doom Spending: Tren Belanja Impulsif Akibat Stres Ekonomi

ilustrasi berbelanja
Ilustrasi berbelanja (Foto: Andrea Piacquadio/Pexels)

PROGRES.ID – Belakangan ini, istilah “doom spending” semakin marak dibicarakan, terutama di kalangan milenial dan gen-Z. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap tekanan ekonomi dan ketidakpastian masa depan.

Doom spending mengacu pada perilaku berbelanja tanpa berpikir panjang, yang sering dilakukan untuk meredakan stres akibat pesimisme terhadap kondisi ekonomi dan politik.

Menurut Bruce Y. Lee, Profesor Kebijakan dan Manajemen Kesehatan di City University of New York yang berbicara dalam Psychology Today, doom spending terjadi ketika seseorang merasa terhimpit oleh situasi seperti kekacauan politik di Amerika Serikat, krisis iklim global, dan masalah sosial lainnya.

Orang-orang cenderung berbelanja sebagai pelarian dari tekanan tersebut, meskipun sebenarnya itu hanyalah solusi sementara yang seringkali justru memperburuk kondisi finansial mereka.

Fenomena Global: “Doom Spending” Tak Hanya di AS

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Amerika Serikat. Stefania Troncoso Fernández, seorang wanita 28 tahun asal Kolombia, mengaku kepada CNBC bahwa meskipun ia kini lebih bijak dalam mengelola uang, inflasi yang tinggi dan ketidakpastian politik membuat sulit baginya untuk menabung.

Dua tahun lalu, ia menghabiskan uang untuk pakaian dan perjalanan tanpa berpikir panjang, meski penghasilannya lebih rendah dibandingkan saat ini. Ketidakmampuan untuk membeli rumah karena program pemerintah yang dihapuskan juga mendorongnya untuk menghabiskan uangnya secara impulsif.

“Saya tahu harga makanan terus naik, dan kami tidak bisa makan dengan cara yang sama seperti setahun yang lalu karena semuanya semakin mahal,” ujar Fernández. Fenomena pengeluaran tanpa perhitungan ini tidak hanya dialami oleh dirinya, tetapi juga oleh banyak orang di lingkungannya.

Generasi yang Merasa Lebih Miskin dari Orang Tua Mereka

Sebuah survei global oleh CNBC International Your Money menunjukkan bahwa hanya 36,5% orang dewasa merasa kondisi finansial mereka lebih baik dibanding orang tua mereka. Sebaliknya, 42,8% merasa bahwa mereka justru lebih buruk.

Menurut Ylva Baeckström, dosen senior keuangan di King’s Business School, generasi saat ini adalah yang pertama kali mungkin akan lebih miskin daripada generasi orang tua mereka.

Perasaan tidak mampu mencapai standar finansial yang dimiliki generasi sebelumnya ini menciptakan dorongan untuk doom spending, memberi ilusi kontrol di dunia yang terasa semakin tak terkendali. Namun, ironisnya, pengeluaran berlebihan ini justru menambah ketidakstabilan finansial di masa depan.

Bagaimana Cara Mengatasi “Doom Spending”?

Untuk menghentikan perilaku doom spending, Baeckström menekankan pentingnya memahami hubungan emosional seseorang dengan uang. Hubungan ini terbentuk sejak masa kecil dan dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, termasuk bagaimana uang dikelola dalam keluarga.

Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pembangunan kekayaan Belong, menjelaskan bahwa belanja daring memperburuk pengeluaran tidak rasional karena prosesnya terlalu mudah dan cepat. Ia menyarankan untuk memperlambat proses pembelian dengan cara kembali berbelanja langsung di toko, di mana Anda harus melihat barang, memikirkan keputusan, dan menghadapi antrian sebelum membayar.

Rosenberg juga merekomendasikan untuk kembali menggunakan uang tunai. Pembayaran digital seperti Apple Pay membuat proses transaksi terasa kurang nyata dan menghilangkan rasa sakit ketika menyerahkan uang. Dengan memperlambat proses transaksi, kita bisa lebih kritis dalam memutuskan apakah pembelian tersebut benar-benar diperlukan.

Mengatur notifikasi perbankan untuk setiap transaksi juga dapat membantu menciptakan rasa kontrol yang lebih baik atas pengeluaran, dan menambah “rasa sakit” psikologis saat uang keluar, yang pada akhirnya dapat membantu mengurangi perilaku doom spending.

error: Konten ini diproteksi !!

Exit mobile version