Ratusan petani sawit tuntut Jokowi cabut pelarangan ekspor

Ratusan petani sawit tuntut Jokowi cabut pelarangan ekspor — BeritaBenar

PROGRES.ID – Ratusan petani sawit pada Selasa (17/5) berunjuk rasa di Jakarta dan sejumlah daerah, menuntut Presiden Joko “Jokowi” Widodo mencabut larangan ekspor minyak sawit yang menurut mereka telah menyengsarakan mereka karena perusahaan menolak membeli dari petani.

Jokowi melarang ekspor sawit dan beragam produk turunannya sejak 28 April lalu 2022 menyusul kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng di dalam negeri.

Bacaan Lainnya

Unjuk rasa di Jakarta berlangsung di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta ruas jalan tak jauh dari Istana Kepresidenan.

Mereka meneriakkan kecaman serta membentangkan spanduk dan poster yang berisi, antara lain, “Dengarkan Suara Petani Sawit” atau “Selamatkan Petani Sawit Indonesia”. Para pendemo juga membawa beberapa tandan buah sawit segar sebagai penanda bahwa hasil kebun mereka tak lagi berharga.

Perwakilan pengunjuk rasa di ibu kota yang tergabung ke dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Fitriansyah mengatakan pelarangan ekspor sangat menyusahkan para petani sawit.

Padahal, terang Fitriansyah, petani tengah meneguk laba yang diistilahkannya sebagai fase ‘berbulan madu’, akibat kenaikan harga sawit dunia yang salah satunya dipicu invasi Rusia ke Ukraina.

“Saat kami ‘berbulan madu’ akibat harga sawit yang tinggi, pemerintah justru melarang. Itu sangat tidak adil dan menyusahkan petani,” kata Fitriansyah ditemui BenarNews di lokasi demonstrasi.

Ditambahkan Ketua Apkasindo, Gulat Manurung, total kerugian para petani sawit akibat pelarangan ekspor mencapai Rp11,7 triliun hingga akhir April 2022.

Kerugian itu termasuk menghitung potensi kehilangan pendapatan negara melalui bea ekspor. Sepanjang Februari hingga April, ia menyebut negara telah kehilangan Rp3,5 triliun per bulan akibat dari pungutan ekspor.

“Dampaknya luar biasa, mengganggu segala sendi ekonomi petani sawit dan rantai ekonomi nasional,” ujar Gulat dalam keterangan tertulis yang dikutip BenarNews.

Menurut Gulat, dari 1.118 pabrik sawit se-Indonesia, setidaknya 25 persen telah menghentikan pembelian tandan buah sawit dari para petani. Perihal itu bahkan terjadi setelah harga tandan buah sawit telah anjlok 40-70 persen dari penetapan pemerintah.

“Kami meminta Presiden untuk meninjau ulang kebijakan pelarangan karena berdampak langsung kepada harga tandan buah sawit petani,” lanjutnya.

Pengamat: Mengunguntungkan Malaysia

Beberapa pengamat mengatakan pelarangan ekspor oleh pemerintah Indonesia di sisi lain bakal menguntungkan Malaysia.

Negara tetangga itu disebut bakal mendominasi pasar sawit, terutama ke India yang merupakan importir utama minyak sawit dunia.

Sehari usai pelarangan ekspor, India sempat memprotes kebijakan pemerintah Indonesia.

Selama ini, India menggantungkan kebutuhan minyak sawitnya kepada Indonesia untuk memenuhi hampir setengah kebutuhan total per bulan mereka yang mencapai 700 ribu ton.

Minyak sawit sendiri menyumbang hampir 60 persen minyak nabati global, di mana Indonesia menyumbang sepertiga di antaranya.

Tak cuma di Jakarta, demonstrasi mendesak pencabutan pelarangan ekspor juga terjadi di salah satu kabupaten di Aceh yang warganya banyak menjadi petani sawit. Puluhan petani yang melakukan protes itu membentangkan spanduk di halaman kantor Bupati Aceh Jaya. Dalam pidatonya mereka menyampaikan bahwa pelarangan ekspor sawit telah mencekik ekonomi para petani, demikian dilaporkan kantor berita Antara.

Sementara di Kabupaten Belitung Timur, para petani meminta Jokowi memedulikan nasib mereka yang terjerembab akibat pelarangan ekspor.

“Kami berharap sekali kebesaran hati Presiden Jokowi untuk mengakhiri ini (pelarangan ekspor),” ujar salah seorang pengunjuk rasa bernama Dwi Nanda,  dikutip dari Tempo.co.

Belum akan dicabut

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan pemerintah belum akan mencabut kebijakan pelarangan ekspor minyak sawit mentah karena harga minyak goreng masih belum cukup stabil di angka Rp14.000 per liter, Bisnis Indonesia melaporkan.

“Jadi kita fokusnya soal ketersediaan dan keterjangkauan minyak goreng curah. Begitu itu stabil, mudah-mudahan stabil pada kesempatan pertama, nanti baru bicara kita soal relaksasi ekspor tersebut,” kata Lutfi seperti dikutip Bisnis Indonesia.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada BenarNews berharap pemerintah segera mencabut pelarangan tersebut.

Unjuk rasa para petani yang terjadi pada hari ini di Jakarta dan sejumlah tempat, terangnya, telah memberi bukti bahwa kebijakan itu sejatinya memiliki lebih banyak mudarat ketimbang manfaat.

“Harga tandan buah segar sawit kini semakin turun akibat over supply, tapi di sisi lain enggak mampu menurunkan harga minyak goreng di pasaran juga,” tambah Bhima.

Dikatakan Bhima, belum normalnya harga minyak goreng lantaran pengusaha yang merugi akibat pelarangan ekspor mengalihkan margin bea pada produk-produk turunannya, salah satunya minyak goreng.

“Harga minyak goreng dinaikkan untuk mengompensasi biaya gudang akibat penumpukan. Maka, sedari awal kebijakan itu sangat kontraproduktif,” ujar Bhima lagi.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menambahkan, pelarangan ekspor yang berkelanjutan bakal pula menggerus surplus neraca perdagangan negara pada Mei.

“Ekspor Indonesia akan terpotong sekitar US$3 miliar dengan pelarangan minyak sawit dan produk turunannya,” ujar David saat dihubungi.

“Maka dengan pelarangan itu, surplus neraca perdagangan pada Mei akan lebih rendah dari sebelumnya, berkisar US$1 miliar hingga US$3 miliar.”

Sepanjang Januari hingga April 2022, surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat US$16,89 miliar, terbaik sejak 2017.

Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy mengutarakan, menilai pelarangan ekspor sebagai kebijakan gagal sebagai pernyataan terlalu dini karena berlangsung kurang dari sebulan.

“Masih terlalu dini untuk melabeli tidak berhasil. Tapi memang kebijakan itu harus dievaluasi, untuk melihat di mana akar masalahnya,” ujarn Rendy kepada BenarNews.

Menurutnya, pemerintah harus mengurut musabab masalah tersebut, apakah disebabkan ihwal lain semacam harga pupuk yang mahal atau bahan baku energi yang relatif tinggi sehingga bea produksi pun melonjak.

“Perlu ada investigasi. Apakah masalah di hulu seperti tadi atau ada hal lain,” pungkasnya.

Logo BenarNews.org

 

Baca berita dan artikel lainnya dari Progres.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.