Kapal Induk AS Berlayar ke Laut Cina Selatan di Tengah Menegangnya Situasi

uss theodore
Kapal induk AS USS Theodore Roosevelt (CVN 71) bersandar di dermaga di Pangkalan Laut Guam, 15 Mei 2020.(Foto: AFP via Benarnews.org)

**Batas Iklan**

China mengeluarkan peraturan mengizinkan penjaga pantainya menggunakan kekerasan terhadap kapal asing.

PROGRES.ID – Amerika Serikat telah mengerahkan armada kapal tempur di kapal induk ke Laut Cina Selatan hanya dalam beberapa hari sejak Presiden Joe Biden dilantik sebagai presiden. Tindakan pamer kekuatan ini menimbulkan kecaman dari Cina kepada Washington.

Bacaan Lainnya

Namun selama akhir pekan, Cina juga melakukan kegiatan unjuk kekuatan militernya, dengan menerbangkan pesawat tempur dalam jumlah banyak di wilayah udara selatan Taiwan. Cina juga pada pekan lalu mengeluarkan undang-undang yang mengizinkan penjaga pantainya untuk menggunakan kekerasan terhadap kapal asing, yang menyebabkan keresahan di Asia Tenggara.

Perkembangan tersebut secara bersamaan menunjukkan adanya peningkatan ketegangan di Laut Cina Selatan kurang dari seminggu setelah pelantikan Biden pada 20 Januari, yang mewarisi hubungan yang sudah memburuk antara Washington dan Beijing.

Angkatan Laut AS mengumumkan pada hari Sabtu bahwa Gugus Tempur Kapal Induk Theodore Roosevelt memasuki Laut Cina Selatan untuk melakukan operasi rutin termasuk latihan serangan maritim dan pelatihan taktis terkoordinasi antara unit permukaan dan udara.

“Dengan dua pertiga dari perdagangan dunia berlayar melalui wilayah yang sangat penting ini, menjadi sangat penting bagi kami untuk mempertahankan kehadiran kami dan terus mempromosikan tatanan berdasarkan aturan yang telah memungkinkan kita semua untuk menjadi makmur,” ujar komandan gugus tempur, Laksamana Muda. Doug Verissimo, dalam siaran persnya.

Termasuk dalam gugus tempur itu antara lain kapal induk USS Theodore Roosevelt, kapal penjelajah berpeluru kendali, dua kapal penyerang berpeluru kendali, dan sejumlah aset lainnya.

Di Beijing, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Zhao Lijian mengatakan bahwa “tidak ada gunanya bagi perdamaian dan stabilitas regional dengan Amerika Serikat sering mengirim kapal dan pesawat militer ke Laut Cina Selatan untuk memamerkan ototnya.”

Bagi Washington, hal itu justru dianggap sebaliknya. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price pada hari Sabtu menyatakan keprihatinan mengenai upaya Cina untuk mengintimidasi negara-negara tetangganya, khususnya Taiwan, dan berjanji bahwa AS akan “berdiri bersama teman dan sekutu untuk meningkatkan kemakmuran, keamanan, dan nilai-nilai kita bersama di kawasan Indo-Pasifik.”

‘Kapal Penjaga Pantai Cina jauh lebih besar’

Filipina, yang merupakan sekutu AS, berkomentar tentang Cina, yang pada hari Jumat mengizinkan Penjaga Pantai Cina (Cina Coast Guard/CGG) untuk menggunakan kekuatan terhadap kapal asing yang melanggar klaim ekspansif Cina di Laut Cina Selatan.

Juru bicara kepresidenan Harry Roque mengingatkan Cina tentang kewajibannya yang terikat dengan hukum internasional, dan menyatakan harapan bahwa Cina dan pihak-pihak yang mengklaim Laut Cina Selatan lainnya akan menahan diri dari “tindakan yang akan memperburuk situasi.”

“Sebuah negara memang memiliki kekuasaan berdaulat untuk mengesahkan undang-undang di wilayahnya, namun undang-undang ini masih harus mematuhi kewajibannya terhadap Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut di mana Cina menjadi salah satu negara penandatangan,” kata Roque kepada wartawan.

“Dan di bawah hukum internasional ini, penggunaan kekuatan umumnya dilarang kecuali untuk dua pengecualian yang didefinisikan dengan baik sebagai pertahanan diri,” katanya, dan menyebutkan bahwa ha itu hanya dapat terjadi ketika pasukan bersenjata memasuki Cina.

Bahkan sebelum ada undang-undang baru ini, CCG sudah memiliki reputasi untuk konfrontasi dan terkadang bentrok dengan kapal penangkap ikan dan kapal lain dari negara-negara tetangga di perairan Laut Cina Selatan yang menjadi sengketa antara beberapa negara.

Cina memiliki sengketa maritim dan teritorial dengan Brunei, Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan di Laut Cina Selatan. Meskipun Indonesia tidak menganggap pihaknya sebagai salah satu yang bersengketa, klaim Beijing atas Laut Cina Selatan bertumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Roque mendesak penyelesaian dan kemudian kepatuhan pada Kode Perilaku – mengacu pada kesepakatan yang telah dinegosiasikan oleh Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) dan Cina untuk mengelola ketegangan di Laut Cina Selatan. Kurangnya antusiasme Cina untuk solusi multilateral atas sengketa tersebut terus menjadi hambatan terhadap perundingan mengenai hal ini.

‘Dampak besar pada hubungan Malaysia-Cina’

Para ahli memandang undang-undang baru Cina tentang penjaga pantai, yang mulai berlaku pada 1 Februari, sebagai eskalasi yang mengkhawatirkan terhadap sengketa Laut Cina Selatan.

“Undang-undang baru tersebut meningkatkan risiko konfrontasi bersenjata di laut antara kapal penjaga pantai Cina dan institusi-institusi penegakan hukum maritim di Asia Tenggara karena CCG adalah alat utama Tiongkok untuk menegaskan klaim teritorial dan yurisdiksinya di Laut Cina Selatan,” ujar Ian Storey, Rekan Senior di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura.

“Kapal-kapal CCG jauh lebih besar dan lebih bersenjata dibandingkan dengan kapal penjaga pantai negara-negara di kawasan ini,” tambahnya.

Dr Ramli Dollah, pakar keamanan dari Universiti Malaysia Sabah (UMS), mengatakan “isu ini akan berdampak besar pada hubungan Malaysia-Cina di Laut Cina Selatan.” Dia menambahkan bahwa sering terjadi kontak dekat antara CCG dan lembaga penegakan hukum Malaysia.

Namun, pakar keamanan maritim dan geopolitik di Sekolah Studi Internasional S.Rajaratnam di Singapura, Collin Koh, mengatakan undang-undang baru itu tidak menunjukkan ada kebijakan baru Cina, tetapi “diharapkan memberikan perlindungan yang sah” terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan Cina selama ini, seperti mengintimidasi Filipina di Pulau Thitu dan Vietnam di Vanguard Bank.

Risa Hontiveros, seorang senator dari pihak oposisi Filipina, mengatakan Departemen Pertahanan Nasional Manila (DND) harus bersiap untuk menghadapi bertambahnya agresi Cina.

“DND sudah perlu memiliki strategi untuk menghadapi yang buruk menjadi yang terburuk. Apakah undang-undang baru ini berarti mereka akan menembak kapal nelayan kita? Cina harus meredakan ketegangan di Laut Filipina Barat, bukan meningkatkannya,” ujar Hontiveros dalam sebuah pernyataan saat dia meminta pemerintah untuk memastikan bahwa Filipina tetap memegang kebijakan politik luar negeri yang independen.

“Seharusnya tidak ada hubungan khusus dengan negara mana pun saat ini… terutama dengan Cina, ”katanya. “Negara kita tidak boleh terikat pada kekuatan asing, baik di Barat atau Timur.”

Meskipun Filipina adalah sekutu lama AS, Presiden Rodrigo Duterte telah mengupayakan hubungan yang lebih dekat dengan Beijing sejak menjabat pada tahun 2016, dan menghindari konfrontasi dengan Cina atas tindakannya di Laut Cina Selatan. Hal itu dilakukannya terlepas dari suksesnya tuntutan hukum Manila melawan Cina atas klaimnya di seluruh wilayah Laut Cina Selatan sebelum Duterte menjabat, dan terus adanya laporan agresi Cina terhadap nelayan Filipina.

“Pemerintah Filipina harus tegas menolak undang-undang ini dan melindungi warga Filipina dari serangan orang-orang Cina,” ujar pemimpin kelompok nelayan Pamalakaya, Fernando Hicap, tentang undang-undang baru tersebut. Dia menggambarkannya sebagai “ancaman serius” bagi para nelayan Filipina.

Kedutaan Besar Cina tidak memberikan jawaban ketika diminta keterangannya.

Minggu lalu, Duta Besar Cina Huang Xilian menekankan berbagai keuntungan yang bisa didapatkan oleh Manila dari kerjasama antara Cina dan Filipina, mengingat tingginya pertumbuhan ekspor Filipina ke Cina dan investasi-investasi Cina di Filipina.

Marielle Lucenio dan Nonoy Espina di Manila, Jojo Rinoza di Dagupan City, Filipina, dan Hadi Azmi dan Nisha David di Kuala Lumpur, berkontribusi pada laporan ini.

Pos terkait