Apa yang Dimaksud Kemarau Basah? Ini Penjelasan BRIN dan BMKG

hujan
Ilustrasi hujan (Istimewa)

JAKARTA, PROGRES.ID – Para pakar telah menyebutkan beberapa fenomena cuaca sebagai penyebab tidak menentunya kondisi cuaca di Indonesia, meskipun seharusnya saat ini sudah memasuki musim kemarau.

Menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), musim kemarau kali ini dikategorikan sebagai musim kemarau basah, yang disebabkan oleh faktor angin dan siklon tropis. Fenomena serupa pada 2023 ini pernah terjadi di Indonesia pada tahun 2013.

Bacaan Lainnya

Akibatnya, beberapa daerah di Indonesia yang seharusnya sudah mengalami musim kemarau tetap basah karena hujan. Misalnya, dalam dua hari terakhir, cuaca ekstrem seperti ini melanda berbagai daerah seperti Jabodetabek, Bali, dan Jawa Timur. Hujan deras terjadi terutama pada siang hingga sore hari.

Peneliti Klimatologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menjelaskan melalui Twitter, “Hujan terpantau di Jabodetabek, yang merupakan aliran hujan dari Sumatra. Pengaruh vorteks Samudra Hindia dapat menciptakan musim kemarau basah,” ujar Erma dinukil dari CNN Indonesia.

Sementara itu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa gelombang atmosfer di khatulistiwa dan kondisi lokal menjadi pemicu hujan pada akhir pekan selama musim kemarau ini.

Selain itu, El Nino, fenomena pemanasan suhu muka air laut di Samudra Pasifik, juga mempengaruhi penurunan curah hujan secara global, dan saat ini telah aktif sejak bulan lalu. BMKG menjelaskan lebih lanjut bahwa ada beberapa faktor yang memicu dominasi hujan selama periode ini.

Pertama, faktor global tidak signifikan. Hal ini ditandai dengan Indeks Osilasi Selatan (SOI) sebesar +3,6, Indeks NINO 3.4 sebesar +0,94, dan Indeks Mode Dipole (DMI), yang mencerminkan pemanasan suhu laut Samudra Hindia (IOD), bernilai -0,21.

Kedua, faktor regional. Gelombang atmosfer Madden Julian Oscillation (MJO) kurang berkontribusi dalam pembentukan awan hujan di wilayah Indonesia.

“Namun, gangguan fenomena MJO secara spasial terpantau aktif di wilayah Samudra Hindia barat Aceh hingga Lampung, seluruh wilayah Indonesia kecuali Kalimantan Utara bagian utara, Papua Barat bagian utara, dan Papua,” kata BMKG.

Hal ini berpotensi menyebabkan pertumbuhan awan hujan di wilayah yang terpengaruh tersebut.

Selain itu, terjadi juga gelombang ekuator yang aktif di wilayah Indonesia yang memicu pertumbuhan awan hujan di daerah yang dilaluinya, yaitu:

  1. Gelombang Rossby Ekuator yang bergerak ke arah barat melanda Samudra Hindia selatan Banten dan Jawa Barat, Papua, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan bagian timur.
  2. Gelombang Kelvin yang bergerak ke arah timur terlihat melintasi Aceh bagian selatan, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Natuna Utara, Kalimantan Barat bagian barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.
  3. Gelombang dengan frekuensi rendah yang cenderung berlangsung lama meliputi wilayah Laut Sulu dan Filipina bagian selatan.

BMKG juga menyebutkan bahwa faktor pertemuan beberapa gelombang di wilayah tersebut dapat memicu hujan.

“Kombinasi antara MJO, gelombang tipe frekuensi rendah, gelombang Kelvin, dan gelombang Rossby Ekuator pada wilayah dan periode yang sama,” kata BMKG, “dapat meningkatkan aktivitas konvektif serta pembentukan pola sirkulasi siklonik di wilayah tersebut.”

Wilayah-wilayah yang terpengaruh tersebut antara lain Aceh bagian selatan, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Selat Malaka, Selat Karimata, Laut Natuna, Laut Natuna Utara, Kalimantan Barat bagian barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.