Nadiem Anwar Makarim Resmi Meluncurkan Permendikbudristek PPKSP Nomor 46 Tahun 2023 Langkah Revolusioner Melawan Kekerasan di Dunia Pendidikan

nadiem anwar
Mendikbudristek Nadiem Makarim (Foto: Humas Setkab/Rahmat)

PROGRES.ID- Kabar baik meresap dalam dunia pendidikan tanah air! Dalam upaya luar biasa untuk melawan bayang-bayang kekerasan di lingkungan sekolah, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, menggulirkan karpet merah bagi Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP).

Bukan sekadar tindakan biasa, melainkan pukulan keras yang berbicara tentang perubahan nyata dalam dunia pendidikan kita. Acara peluncuran yang berlangsung dalam episode ke-25 dari Merdeka Belajar, telah menjadi saksi bisu bagi momen bersejarah ini. Melalui siaran pers resmi Kemdikbud dan setkab, pada Selasa (08/08/2023), Nadiem Anwar Makarim menggambarkan betapa pentingnya langkah ini.

Bacaan Lainnya

“Beberapa tahun terakhir kami melibatkan berbagai pihak untuk merancang sebuah regulasi yang dapat mencegah dan menangani kekerasan di satuan pendidikan yang pada hari ini akan kita luncurkan bersama yaitu Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan,”ujar Nadiem saat Peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-25, di Jakarta, Selasa (08/08/2023).

Permendikbudristek ini menjadi aturan tunggal yang melindungi dan merangkul seluruh komunitas pendidikan. Melalui langkah ini, komitmen untuk melawan kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi dalam dunia pendidikan menjadi lebih kokoh. Bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga bentuk-bentuk lainnya seperti kekerasan daring dan psikis, diberikan perhatian serius dengan fokus pada kepentingan korban.

“Permendikbudristek PPKSP melindungi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dari kekerasan yang terjadi saat kegiatan pendidikan, baik di dalam maupun di luar satuan pendidikan,,” tegas Nadiem.

Tak hanya itu, peraturan ini menjadi tonggak penting dalam memenuhi kewajiban undang-undang dan peraturan pemerintah yang mendukung perlindungan anak. Dengan penuh keyakinan, peraturan ini menggantikan peraturan sebelumnya, yakni Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan.

Terlepas dari arti pentingnya, Permendikbudristek PPKSP juga menghilangkan keraguan dengan memberikan definisi yang jelas terhadap berbagai bentuk kekerasan. Tidak hanya mengidentifikasi, peraturan ini juga melarang adanya kebijakan yang mungkin memicu tindakan kekerasan di sekolah.

“Peraturan yang baru ini juga tegas menyebutkan bahwa tidak boleh ada kebijakan yang berpotensi menimbulkan kekerasan, baik dalam bentuk surat keputusan, surat edaran, nota dinas, imbauan, instruksi, pedoman, dan lain-lain,” jelas Nadiem Anwar Makarim.

Tak hanya menetapkan aturan, Permendikbudristek PPKSP juga menawarkan panduan langkah pencegahan dan penanganan yang berpihak pada korban. Melalui kerja sama dengan satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan Kemendikbudristek, peraturan ini mendefinisikan mekanisme yang memberi ruang bagi pemulihan. Seiring dengan itu, pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) dan Satuan Tugas (Satgas) menjadi arahan penting yang diberikan kepada satuan pendidikan dan pemerintah daerah.

“TPPK dan Satuan Tugas perlu dibentuk dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah peraturan ini disahkan, agar kekerasan di satuan pendidikan dapat segera tertangani. Jika ada laporan kekerasan, dua kelompok kerja ini harus melakukan penanganan kekerasan dan memastikan pemulihan bagi korban, sedangkan sanksi administratif diberikan kepada pelaku peserta didik dengan mempertimbangkan sanksi yang edukatif dan tetap memperhatikan hak pendidikan peserta didik,” tandasnya.

Saat merujuk pada data survei Asesmen Nasional 2022, angka 34,51 persen peserta didik berpotensi menjadi korban kekerasan seksual, 26,9 persen menghadapi potensi hukuman fisik, dan 36,31 persen berpotensi menjadi sasaran perundungan. Dalam kesesuaian dengan temuan ini, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 juga memperlihatkan angka signifikan.

Data yang diterima Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2022 memaparkan fakta alarm terkait kasus-kasus kekerasan anak, termasuk korban kejahatan seksual. Angka 2.133 korban yang mengalami kekerasan fisik, psikis, dan kejahatan siber menjadi refleksi penting dalam urgensi tindakan ini.

Dalam upaya yang tidak hanya berbicara, melainkan bertindak, langkah Nadiem Anwar Makarim menegaskan satu hal: pendidikan adalah wadah tanpa kekerasan dan korban, suatu tempat di mana harapan dan perlindungan harus berkembang.(rg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.