PP 26 Tahun 2023 Mencemari Lautan, Merusak Ekosistem dan Tenggelamkan Pulau-pulau

Rusdianto Samawa
Rusdianto Samawa

Pada hari Kamis (8/6/2023) masyarakat dunia peringati Hari Laut Sedunia (World Ocean Day), mengirim pesan kepada manusia dan mahluk sumberdaya laut yang terkandung di dalamnya, bahwa hubungan interaksi saling menjaga agar kehidupan sehari-hari dapat berlangsung harmonis antar manusia (eksploitatif).

Bagi Tuhan, Laut disediakan secara terbuka dan manusia diberi tugas memelihara dan menjaga, sembari dijadikan pusat pangan dalam kehidupannya. Wikipedia (2023) menyebut “Laut sangat penting bagi kehidupan manusia seperti sumber makanan, tempat rekreasi, pemersatu dan pemisah wilayah. Salah satunya Indonesia yang dikepung kepulauan.

Bacaan Lainnya

Hari Kamis (8/6/2023) adalah moment pidato Sekjend PBB yang menyerukan bahwa dimasa depan tantangan yang dihadapi oleh laut dan ekosistemnya sangat kompleks, bisa berakibat penjarahan atas kebijakan negara yang rakus. Akibat kekurangan asupan kesadaran akan kondisi dan ekosistem laut yang semakin rusak.

Mengutip pesan United Nation (2023) pada peringatan Hari Laut Sedunia bertema “Planet Ocean: Tides are Changing” atau “Planet Samudra: Pasang Surut Berubah” yang menyoroti sistem pengelolaan sains dan kebijakan eksploitasi laut. Karena, lebih 70 persen bumi disupport oksigen dari lautan, beragam hayati terkandung, dan sumber protein utama bagi satu miliar orang di dunia. Selain itu, laut juga kunci ekonomi dengan perkiraan 40 juta orang bekerja di industri kelautan pada tahun 2030 mendatang.

Namun, laut kini terancam, ekosistemnya terganggu karena penjarahan dan penghisapan yang rakus. Faktanya, lebih 90 persen populasi ikan besar habis, lebih 50 persen terumbu karang hancur dan 60 persen pasir laut dikeruk yang berdampak pada pulau – pulau kecil tenggelam. Kebijakan negara tak memiliki dasar keprihatinan yang kuat dengan lakukan eksploitasi secara serampangan.

Kontra produktif cara berfikir sebagian kalangan bahwa ekspor pasir laut sesuai dengan Undang-Undang Kelautan, Undang-Undang Minerba, Undang-Undang Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tata Ruang, dan Undang-Undang Otonomi Daerah, itu sangat keji dan tidak pertimbangkan keberlangsungan aspek perikanan tangkap lainnya.

Oligarki pengusaha pasir laut yang mengambil untung dari kebijakan PP 26 tahun 2023 itu membuat argumentasi barbar. Karena mereka mengingat pasir laut yang melimpah, berasal dari gerusan atau sedimentasi pasir yang hanyut dari Pulau Sumatera dan sebaglan besar Samudera Hindia. Terutama perairan Kepulauan Riau (Kepri) berada di jalur granit yang terkandung timah dan bauksit yang memanjang dari Pulau Bangka Belitung hingga semenanjung Malaysia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.