PUTIN, NATO DAN PAKTA WARSAWA

Vladamir Putin
Presiden Rusia Vladamir Putin (Foto: CNN Indonesia)

BUKAN Korut atau Iran. Perang itu justru terjadi di Ukraina. Wilayah yang dulunya bagian dari Uni Soviet. Tokohnya bukan Kim Jong Un atau Ebrahim Raesi dan Ayotullah Ali Khamenei. Presiden dan pemimpin tertinggi Iran. Tokoh sentralnya adalah Vladimir Putin.

Putin mendahului kemungkinan Ukraina bergabung dengan NATO.  Sepuluh hari sebelum perang dimulai, Presiden Ukraina Velodymyr Zelensky yang pro Barat menegaskan pernyataan untuk bergabung dengan NATO. Putin meradang. NATO adalah musuh utama Pakta Warsawa pimpinan Uni Soviet. Rusia adalah pewaris utama Soviet.

Bacaan Lainnya

Garis kebijakan Kremlin jelas. Menentang keras perluasan cengkeraman NATO ke Eropa Timur, utamanya yang berbatasan langsung dengan Rusia. Memang sudah ada Negara pecahan Soviet yang bergabung NATO. Tapi Negara-negara itu relatif kecil dan kurang berpengaruh. Beda dengan Ukraina yang besar dan berbatasan langsung dengan Rusia. Bila Ukraina masuk NATO, maka Negara itu bisa menjadi pangkalan militer utama AS di Eropa Timur yang berhadapan langsung dengan Moskow.

Sejak Uni Soviet bubar tahun 1991, NATO melakukan ekspansi nonmiliter secara agresif ke Eropa Timur. Hal ini memicu kekhawatiran Kremlin. Negara-negara yang dulunya bergabung dalam Pakta Warsawa, satu per satu bergabung dengan NATO. Polandia, Ceko dan Hungaria mengawali bergabung NATO pada 1999. Pada tahun 2004, menyusul tiga Negara lagi bergabung NATO yakni Estonia, Latvia dan Lithuania. Ketiganya adalah Negara pecahan Uni Soviet.

Semakin hari, NATO semakin merangsek ke Eropa Timur mendekati Rusia. Pada tahun yang sama, empat Negara Eropa Timur lainnya menyusul bergabung yaitu Bulgaria, Rumania, Slovenia dan Slowakia.

Dalam kurun 15 tahun, NATO sudah melakukan perluasan keanggotaan di 12 negara di Eropa Timur. Negara-negara anggota baru NATO itu dulunya adalah sekutu Soviet atau setidaknya dibawah pengaruh Uni Soviet. Rusia sebagai pewaris Soviet semakin terdesak atas perluasan itu. Jika terjadi perang, NATO sudah menguasai sebagian akses pasukan darat. Boleh dibilang Rusia sudah “terbuka.” Meskipun belum seluruhnya. Salah satu pintu masuk yang luas itu adalah Ukraina.

“Munculnya aliansi militer di daerah perbatasan Rusia adalah sebuah ancaman,” ujar Vladimir Putih dalam konferensi pers merespon pertemuan puncak NATO di Rumania tahun 2008. Ketika itu, NATO membahas kemungkinan bergabungnya Georgia dan Ukraina.

Karena itu, Moskow mati-matian menentang Ukraina bergabung NATO. Termasuk menguasai wilayah-wilayah pinggiran timur Ukraina yang berbatasan langsung dengan Rusia yakni Krimea, Lugansk dan Donetsk. Khusus Lugansk dan Donetsk, Rusia mendukung kelompok separatis yang ingin merdeka dari Ukraina. Sedangkan Krimea sudah dicaplok pada 2014.

Pada sisi utara Ukraina, Rusia relatif merasa aman. Karena Belarusia yang berbatasan langsung dengan Rusia, pemerintahnya pro Moskow. Dalam perang dengan Ukraina,  pasukan darat Rusia memiliki akses masuk Ukraina dari utara lewat wilayah Belarusia. Pasukan ini dalam hitungan hari sudah memasuki Kiev, meskipun hingga tulisan ini dibuat, pasukan Rusia belum mampu menguasai ibukota Ukraina tersebut. Karena mendapat perlawanan hebat.

Kekhawatiran Rusia bahwa negaranya akan dikepung Barat sudah dirasakan sejak era Presiden Boris Yetsin. Karena itu, mereka membentuk aliansi baru Dewan NATO-Rusia untuk sarana konsultasi keamanan. Reaksi Moskow masih datar. Maklum, ketika itu mereka belum sekuat sekarang. Baik secara ekonomi maupun militer. Pada era Putin, Rusia membangun kekuatan militer secara besar-besaran. Saat ini, kekuatan militer Rusia menempati nomor 2 di dunia.

Bagi yang memahami psikologi politik Kremlin, tentu tidak begitu kaget ketika Putin mengumumkan operasi militer. Operasi militer adalah opsi yang selalu mungkin. Secara sederhana dapat dipahami, tujuan utama invasi Rusia pada 24 Februari 2022 tidak lain untuk menggulingkan Presiden Volodymyr Zelensky yang pro NATO.

Jadi, ini bukan soal Lugansk atau Donetsk sebagaimana alasan yang disampaikan Putin dalam pernyataan awal. Ketika itu, Putin menyatakan operasi militer ditujukan untuk melindungai warga Rusia di Lugansk dan Donetsk dari gempuran pasukan Ukraina yang ingin membasmi kelompok separatis.

Masih ingat dengan alasan AS menyerbu Irak tahun 2003? Ketika itu, George W Bush mengajukan alasan karena Irak menyimpan senjata pemusnah massal. Alasan yang tidak pernah terbukti sampai Saddam Husein dihukum gantung.

Ini soal sikap AS dan Barat yang menolak memberi jaminan bahwa Ukraina tidak akan bergabung NATO sebagaimana permintaan Putin. Ini soal Presiden Ukraina yang dinilai “kegenitan” oleh Moskow karena ingin berada dalam “pelukan” Barat.

Suami mana yang tidak panas hatinya melihat mantan istri bermesraan di depan mata dengan laki-laki lain. Apalagi laki-laki itu musuh sang mantan suami.

AS memahami betul psikologi Kremlin tersebut. Karena itu, mereka tidak langsung mengirim pasukan untuk membela Ukraina. Sebab, hal itu bisa memicu perang meluas ke seluruh daratan Eropa.

AS sadar. Ini bukan Irak atau Iran. Bukan pula Suriah atau Korut. Ini Rusia yang memiliki kekuatan militer jauh lebih kuat. Dan tentu saja senjata nuklir.

Tapi apapun itu, perang tetaplah perang yang menimbulkan banyak penderitaan bagi warga sipil. Kita hanya bisa bersuara dan berdoa agar perang tidak meluas. Dan segera dihentikan.

Penulis adalah Wartawan Senior di Bengkulu. Ketua Dewan Kehormatan PWI Provinsi Bengkulu dan juga Akademisi UINFAS Bengkulu

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.