Scroll ke bawah untuk membaca artikel
Seni dan Budaya

Pray for Borobudur Ramai di Media Sosial, Ternyata Ini Sebabnya!

Progres.id
×

Pray for Borobudur Ramai di Media Sosial, Ternyata Ini Sebabnya!

Sebarkan artikel ini
candi borobudur
candi Borobudur (Foto: Linda Gschwentner/PEXELS)

PROGRES.ID – Belakangan ini, gerakan “Pray for Borobudur” semakin ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat yang peduli terhadap kelestarian Candi Borobudur, terutama di media sosial.

Gerakan ini mencuat setelah muncul rencana pemasangan chattra (payung mahkota) di atas stupa induk Borobudur pada 18 September 2024, yang menimbulkan kontroversi besar.

Tagar ini didukung oleh komunitas Buddha dan masyarakat umum yang khawatir akan dampak perubahan ini terhadap nilai sejarah dan keaslian Borobudur.

Rencana pemasangan chattra berawal dari undangan yang beredar dari Ditjen Bimas Buddha Kementerian Agama RI, yang menyatakan acara tersebut akan dihadiri Presiden Joko Widodo dan Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Namun, rencana ini menuai kritik tajam dari para akademisi, arkeolog, dan pengelola warisan budaya. Sejarawan mencatat bahwa kontroversi mengenai pemasangan chattra sudah ada sejak pemugaran Borobudur di tahun 1907-1911 oleh Theodoor van Erp. Van Erp sempat memasang chattra di atas stupa induk, namun kemudian mencabutnya karena dianggap tidak sesuai dengan filosofi asli Borobudur.

Prof. Dr. Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi UGM, menegaskan bahwa pemasangan chattra tersebut tidak seharusnya dilakukan. Menurutnya, Borobudur adalah warisan dunia yang harus dijaga keasliannya, bukan dimodifikasi sesuai kepentingan pihak tertentu.

Penolakan serupa juga datang dari Balai Konservasi Borobudur yang menyatakan bahwa berdasarkan penelitian, serpihan chattra yang ditemukan Van Erp berasal dari stupa perabuan, bukan stupa induk.

Arkeolog Dr. Hari Setiawan menjelaskan bahwa relief di Gandavyuha-Bhadracari menunjukkan stupa induk Borobudur tanpa chattra, menegaskan bahwa pemasangan mahkota tersebut tidak sesuai dengan kaidah arkeologi dan filosofi Borobudur.

Selain dari kalangan akademisi, tokoh Buddhis seperti Salim Lee juga menyampaikan ketidaksetujuannya. Menurutnya, tidak semua stupa memiliki chattra, termasuk stupa Borobudur. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan arkeolog So Tju Shinta Lee yang secara kritis mempertanyakan dasar filosofi dari rencana ini.

Kekhawatiran besar juga muncul terkait status Borobudur sebagai Warisan Budaya Dunia. Jika pemasangan chattra dilakukan tanpa konsultasi dan prosedur yang sesuai dengan rekomendasi UNESCO, ada risiko bahwa status warisan dunia Borobudur akan dicabut.

Hal ini akan menjadi pukulan besar bagi Indonesia, mengingat Borobudur adalah salah satu ikon budaya paling penting yang juga mendukung sektor pariwisata negara.

Melalui gerakan “Pray for Borobudur”, berbagai pihak berharap agar pemerintah dan masyarakat lebih waspada dalam menjaga keaslian dan nilai sejarah candi yang sangat berharga ini. Borobudur bukan hanya simbol spiritual bagi umat Buddha, tetapi juga warisan dunia yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan penelitian yang mendalam dan kaidah sejarah yang tepat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

error: Konten ini diproteksi !!