Sidang Uji Aturan Pembatasan Kewenangan MPR, Yusril Perbaiki Permohonan

yusril izha mahendra
Yusril Izha Mahendra (Foto: Jawapos.com)

JAKARTA, PROGRES.ID – Pemohon uji materiil Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Izha Mahendra telah melakukan perbaikan atas permohonannya.

Hal ini diungkapkan Yusril pada Senin (24/7/2023) saat sidang di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang tersebut beragenda Pengujian Materiil Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 66/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Partai Bulan Bintang dan diwakili oleh Yusril Ihza Mahendra sebagai Ketua Umum serta Afriansyah Noor sebagai Sekretaris Jenderal.

Bacaan Lainnya

Dalam persidangan, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa perbaikan atas saran dari Majelis Hakim telah dilakukan. Namun, selain itu, ia juga berusaha untuk memperjelas dan memperluas argumentasi permohonan ini agar menjadi lebih jelas.

“Kami juga telah memperjelas dan mempertegas kedudukan hukum dalam makna kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon sehingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ini,” tegas Yusril di hadapan sidang panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, seperti dikutip dari mkri.id.

Selain itu, Yusril berujar, Partai Bulan Bintang, berdasarkan AD/ART partainya, sah bertindak untuk Partai Bulan Bintang.

“Kemudian, dalam uraian argumentasi atau alasan permohonan kami sedikit menyinggung aspek-aspek pengujian secara formil terhadap penjelasan pasal yang dimohonkan untuk diuji yang didasarkan kepada ketentuan Pasal 51A dari UU Mahkamah Konstitusi. Kalaulah MK melakukan pengujian formil terhadap UU maka yang dijadikan batu uji adalah UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sementara yang kami mohon yang diuji sekarang ini adalah Pasal 7 ayat (1) huruf b UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan itu sendiri yang kami uji dengan ketentuan-ketentuan di dalam norma dan pengaturan di dalam undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan khususnya terjadinya pertentangan antara materi muatan atau norma di dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dengan penjelasannya,” tegasnya.

Menurut Yusril, penjelasan itu sebenarnya hanya menjelaskan kalimat atau istilah tetapi penjelasan menurut undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh mengandung norma.

Sebelumnya, Pemohon berpendapat bahwa dengan dilakukannya amendemen terhadap pasal-pasal yang mengatur keberadaan MPR di dalam UUD 1945 serta dihapuskannya Penjelasan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang dasar tersebut, maka telah terjadi perubahan yang mendasar dari MPR sebagai satu-satunya lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat dan merupakan “lembaga tertinggi negara” dan sekaligus sebagai penjelmaan “seluruh rakyat Indonesia”.

Pemohon berpendapat bahwa keberadaan Ketetapan MPR yang bercorak pengaturan itu dalam sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia setidaknya telah 3 (tiga) kali menjadi penyelamat Negara Republik Indonesia ketika negara ini mengalami krisis konstitusional.

Pertama, MPRS telah membuat Ketetapan yang melarang berkembangnya faham Marxisme dan Leninisme setelah terjadinya pemberontakan G 30 S PKI pada tahun 1965, setelah sebelumnya Pengemban Supersemar Jenderal Soeharto membubarkan PKI pada tanggal 3 Maret 1966.

Kedua, MPRS menerbitkan Penetapan yang bersifat beshickking untuk menetapkan Pengembang Supersemar sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967.

Ketiga, MPR telah membuat Ketetapan tentang pertanggungjawaban Presiden melalui memorandum I dan II yang dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional.

Keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan ini dijadikan dasar untuk berhentinya Presiden Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden BJ Habibie di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung, ketika MPR dalam keadaan tidak dapat bersidang akibat krisis moneter tahun 1998. Ketetapan ini membuat berhentinya Presiden Suharto dan pengambilan sumpah Wakil Presiden BJ Habibie sebagai penggantinya menjadi sah dan konstitusional. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.