Empat Tokoh Nasional Wanita yang Berkontribusi Pada Emansipasi Perempuan Indonesia

H. Rasuna Said/istimewa

PROGRES.ID– Wanita memiliki peran penting dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, beberapa pahlawan nasional wanita Indonesia juga sering berkontribusi pada emansipasi perempuan Indonesia. Jasa-jasa mereka tidak dapat diabaikan begitu saja.

Berikut empat tokoh nasional wanita yang jarang di ketahui namun memiliki peran penting dalan perjuangan kemerdekaan indonesia:

Bacaan Lainnya

1.H. R. Rasuna Said

Rasuna Said, yang lengkapnya Hajjah Rangkayo Rasuna Said, lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Agam, Sumatra Barat.

Wanita yang selalu menggunakan kerudung ini tidak hanya berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia, tetapi juga untuk emansipasi perempuan.

Sejak kecil, Rasuna Said telah menerima pendidikan Islam di pesantren dan tertarik untuk ikut dalam perjuangan politik.

Kemudian, Rasuna Said bergabung dengan Sarekat Rakyat sebagai sekretaris cabang dan kemudian menjadi anggota Persatuan Muslim Indonesia.

Selama masa perjuangan, Hj Rangkayo Rasuna Said pernah dipenjara oleh Belanda pada tahun 1932 karena memprotes ketidakadilan Pemerintah Hindia Belanda.

Dia juga menjadi anggota DPR-RIS dan Dewan Pertimbangan Agung. Selama hidupnya, Rasuna aktif memperjuangkan persamaan hak antara pria dan wanita.

Pada masa itu, Rasuna sangat memperhatikan kemajuan dan pendidikan perempuan, bahkan mengajar Diniyah Putri sebagai guru.

Namun, pada tahun 1930, Rasuna Said berhenti mengajar karena meyakini bahwa kemajuan perempuan tidak hanya dapat dicapai dengan mendirikan sekolah, tetapi juga harus disertai dengan perjuangan politik.

Rasuna Said berusaha memasukkan pendidikan politik ke dalam kurikulum sekolah Diniyah School Putri, tetapi usulnya ditolak.

Rasuna Said kemudian mendalami agama dengan Haji Rasul atau Abdul Karim Amrullah, yang mengajarkan pentingnya pembaharuan pemikiran Islam dan kebebasan berpikir, yang kemudian mempengaruhi pandangan Rasuna Said.

Pada tahun 1935, Rasuna Said pernah menjadi pemimpin di majalah raya, yang dikenal sebagai radikal pada masa kolonial dan menjadi tonggak perlawanan rakyat Indonesia di Sumatera Barat.

Pembatasan gerak Rasuna dan rekan-rekannya oleh pihak Belanda membuat Rasuna memutuskan untuk pindah ke Medan dan mendirikan sekolah pendidikan khusus wanita, yaitu perguruan putri.

Di sana, ia menyalurkan bakat jurnalistiknya dengan menerbitkan serta menjadi pimpinan redaksi sebuah majalah bernama Menara Poetri. Majalah ini didirikan pada tahun 1937 dengan fokus pada keputrian dan keislaman.

Setelah kemerdekaan, Rasuna Said aktif di Badan Penerangan Pemuda Indonesia dan Komite Nasional Indonesia di Parlemen, termasuk dalam Panitia Pembentukan Dewan Perwakilan Sumatra, mewakili Sumatera Barat.

Ia aktif sebagai wakil rakyat mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Rasuna Said juga aktif dalam organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) sebagai pimpinan cabang Jakarta.

Rasuna Said diberi tanda kehormatan Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan dan Satyalancana Perintis Pergerakan Kemerdekaan. Sebagai tanda penghormatan terakhir, namanya sekarang diabadikan sebagai nama jalan protokol, tertulis H.R. Rasuna Said di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.

2. Nyai Ahmad Dahlan

Kota Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar, adalah tempat kelahiran banyak tokoh nasional yang jejaknya masih terasa hingga saat ini. Salah satu tokoh nasional dengan jasa dan peran panjang yang berasal dari kota Yogyakarta adalah Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan.

Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan lahir pada 3 Januari 1872 di kawasan Kauman, di belakang Masjid Gede Yogyakarta. Ia adalah putri Haji Muhammad Fadil, seorang ulama penghulu Keraton Yogyakarta, dan ibunya bernama Nyai Mas. Siti Walidah tumbuh dalam keluarga yang didasarkan pada nilai-nilai kehidupan spiritual Islam.

Pada masa itu, perempuan jarang menempuh pendidikan formal. Namun, Siti Walidah atau Nyai Ahmad Dahlan tetap menerima pendidikan agama dari ayahnya.

Ia juga dididik tentang hakikat perempuan, baik dalam peran sebagai istri maupun ibu. Pendidikan ini menjadi landasan pemikiran dan aktivitasnya ketika ia terlibat dalam organisasi.

Nyai Dahlan meneruskan semangat dan gagasan Kiai Dahlan kepada generasi penerus, khususnya perempuan, melalui Sopo Tresno, awal dari berdirinya Aisyiyah. Aisyiyah, organisasi otonom untuk wanita Muhammadiyah, didirikan pada 19 Mei 1917 dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai pemimpinnya.

Lima tahun kemudian, organisasi ini menjadi bagian resmi dari Muhammadiyah.

Melalui Aisyiyah, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama, serta program keaksaraan dan pendidikan Islam bagi perempuan.

Ia juga aktif berkhotbah menentang praktik kawin paksa dan mengunjungi cabang-cabang Aisyiyah di seluruh Jawa.

Berbeda dengan tradisi patriarki masyarakat Jawa, Nyai Ahmad Dahlan meyakini bahwa wanita seharusnya menjadi mitra bagi suami mereka.

Sekolah Aisyiyah mencerminkan ideologi pendidikan Ahmad Dahlan, yaitu Catur Pusat: pendidikan di rumah, di sekolah, di masyarakat, dan di tempat-tempat ibadah.

Setelah Ahmad Dahlan meninggal pada tahun 1923, Nyai Ahmad Dahlan tetap aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Pada tahun 1926, ia menjadi pemimpin Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, menjadi wanita pertama yang memimpin konferensi semacam itu.

Berkat liputan media yang luas, banyak perempuan terinspirasi untuk bergabung dengan Aisyiyah. Selama masa pendudukan Jepang, Aisyiyah dilarang, namun Nyai Ahmad Dahlan tetap berjuang di sekolah-sekolah dan melindungi siswa dari tekanan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.

Selama Revolusi Nasional Indonesia, ia memasak untuk tentara dan mendukung dinas militer di antara mantan murid-muridnya. Ia juga terlibat dalam diskusi perang bersama Jenderal Sudirman dan Presiden Sukarno.

Nyai Ahmad Dahlan wafat pada 31 Mei 1946 dan dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Pada saat pemakamannya, Sekretaris Negara Abdoel Gaffar Pringgodigdo dan Menteri Agama, Rasjidi, mewakili pemerintah menghormati kepergian pahlawan emansipasi tersebut.

3.Maria Walanda Maramis

Walanda Maramis, seorang wanita asal Minahasa, dikenal sebagai pejuang emansipasi wanita di Minahasa. Maria Josephine Catherine Maramis, nama lengkapnya, lahir di sebuah desa kecil di Kabupaten Minahasa Utara, Kecamatan Kema (hasil pemekaran Kecamatan Kauditan) Provinsi Sulawesi Utara.

Maria adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dengan ayahnya, Alexander Andries Maramis, yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menjabat sebagai menteri dan duta besar dalam pemerintahan Indonesia.

Kakak perempuannya bernama Antje, sementara kakak laki-lakinya bernama Andries. Maria menjadi yatim piatu pada usia enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh sakit dan meninggal dunia.

Paman Maria, Mayor Ezau Rotinsulu, yang saat itu menjadi kepala distrik di Maumbi, membawa Maramis dan saudara-saudaranya ke Maumbi untuk dibesarkan.

Selama di sana, Maramis berteman dengan kalangan terpelajar, termasuk seorang pendeta bernama Jan Ten Hoeve.

Maramis dan kakak perempuannya juga masuk ke Sekolah Melayu di Maumbi, satu-satunya pendidikan resmi yang mereka terima.

Meskipun mengajarkan ilmu dasar seperti membaca dan menulis, serta sedikit ilmu pengetahuan dan sejarah, ini adalah langkah pertama Maria menuju kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi perempuan.

Kejadian di Minahasa menjadi dorongan awal bagi Maria Walanda untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan. Dia mulai dengan mempelajari bahasa Belanda.

Meskipun tidak melanjutkan pendidikan tinggi, cita-citanya untuk meningkatkan status perempuan Minahasa tumbuh melalui pergaulannya yang luas.

Menurut Edi Warsidi dalam “Meneladani Kepahlawanan Kaum Wanita” (2007: 19), Maria ingin memajukan perempuan Minahasa, meskipun harus melanggar tradisi. Bagi Maria, perempuan harus mendapatkan pendidikan yang cukup.

Pada tahun 1890, saat berusia 18 tahun, Maria menikah dengan seorang guru sekolah dasar di Manado bernama Yoseph Frederik Calusung Walanda.

Setelah menikah, Maria mulai mewujudkan cita-citanya untuk memajukan perempuan. Dia menyampaikan pikirannya melalui tulisan yang dikirimkan ke surat kabar Tjahaja Siang, pionir surat kabar di Sulawesi Utara.

Dalam tulisannya, Maria menjelaskan pentingnya pendidikan yang lebih baik bagi perempuan agar mereka dapat menjadi istri dan ibu yang lebih baik untuk keluarga.

M. Junaedi Al Anshori dalam “Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan” (2011: 108) mencatat bahwa pada 8 Juli 1917, Maria dan beberapa rekan pendiri mendirikan organisasi yang disebut Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT).

Organisasi ini, didukung oleh suaminya dan beberapa tokoh cendekiawan lainnya, awalnya bertujuan untuk berbagi pengalaman dan membahas berbagai masalah pendidikan anak. Namun, Maria memiliki visi lebih luas untuk memajukan kaum perempuan di Minahasa.

PIKAT yang digagas oleh Maria berkembang pesat dan memiliki banyak cabang hingga ke Kalimantan dan Jawa. Setelah tahun 1920, jumlah perkumpulan perempuan semakin bertambah.

PIKAT juga mendorong kesadaran kaum perempuan di Minahasa dan Sulawesi pada umumnya untuk berorganisasi. Sejumlah cabang PIKAT terbentuk di Minahasa, seperti di Maumbi, Tondano, dan Motoling, serta di luar Minahasa, seperti di Sangir Talaut (Sangihe-Talaud), Poso, Gorontalo, dan Ujung Pandang.

Cabang-cabang PIKAT di Jawa juga terbentuk di kota-kota seperti Batavia, Bogor, Bandung, Cimahi, Magelang, dan Surabaya.

Pada tanggal 2 Juni 1918, PIKAT membuka sekolah di Manado, mengajarkan keterampilan rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, dan pekerjaan tangan.

PIKAT juga mendirikan sekolah Huishound School Pikat untuk anak perempuan tanpa biaya. Maria juga mendirikan Sekolah Kejuruan Putri lengkap dengan asramanya. Maramis tetap aktif dalam PIKAT sampai meninggal pada 22 April 1924.

Sebagai penghargaan atas perannya dalam pengembangan perempuan di Indonesia, Maria Walanda Maramis dianugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada 20 Mei 1969.

4.Nyi Ageng Serang

Nyi Ageng Serang, yang sebenarnya bernama Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi, adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia asal Purwodadi.

Ia adalah pemimpin gerilyawan Jawa yang memimpin serangan terhadap penjajah Belanda. Nyi Ageng Serang adalah putri dari Pangeran Natapraja, seorang penguasa daerah Serang, Jawa Tengah, yang juga merupakan Panglima Perang Sultan Hamengkubuwono I.

Nyi Ageng adalah keturunan Sunan Kalijaga dan cucu dari pahlawan R.M. Soewardi Surjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara.

Karir militer Nyi Ageng dimulai sejak usia 16 tahun saat ia bergabung dengan Korps Nyai di Keraton Yogyakarta. Gelar Nyi Ageng diberikan padanya di tempat ini, sementara gelar Serang ia dapat setelah menikahi Pangeran Serang I. Ia dikenal sebagai wanita kuat, tangguh, dan cerdas.

Sejak kecil, Nyi Ageng Serang sudah gemar berlatih ilmu bela diri dan dihormati karena kecakapannya. Ia memiliki kesaktian tinggi yang didapatkannya ketika bersemedi di gua di sekitar pantai selatan Jawa. Banyak orang mendatanginya untuk berguru.

Ketika Perang Diponegoro terjadi pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang bergabung dengan pasukannya, Semut Ireng, dan berperang bersama Pangeran Diponegoro. Mereka bergerak ke sektor Serang-Demak pada awal perang. Nyi Ageng dikenal sebagai taktikus dan pengatur strategi perang yang andal, dan Pangeran Diponegoro sering meminta bantuannya.

Pasukan Semut Ireng, yang terdiri dari 500 prajurit, selalu siap siaga. Mereka menggunakan panji merah-putih bernama Panji Gula Kelapa dan berhasil menghancurkan pos Belanda di Gambringan sebelum melanjutkan penyerangan ke Purwodadi.

Dalam merebut bagian timur Jawa Tengah, Nyi Ageng Serang memimpin pasukannya dengan melakukan penyamaran menggunakan daun limbu. Keahliannya dalam strategi perang membuatnya dihormati oleh Pangeran Diponegoro, dan ia akhirnya dipercaya sebagai penasihat umum dalam perang Jawa.

Setelah tiga tahun bertempur bersama Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang tidak mampu lagi melawan penjajah karena kekuatan fisiknya yang menurun.

Ia kemudian mundur dari medan perang, dan pasukannya diambil alih oleh cucunya, Raden Mas Pak-Pak, pada tahun 1828. Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada usia 76 dan dimakamkan di desa Beku, Kulonprogo, tempat ia pernah memimpin perlawanan terhadap Belanda. Nyi Ageng Serang diakui sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 084/TK/1974.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.